Cari Blog Ini

Rabu, 24 November 2010

Lalu Lintas-UU No. 22 Tahun 2009

Mengingat . . .
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 2009
TENTANG
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran
strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi
nasional sebagai bagian dari upaya memajukan
kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai bagian
dari sistem transportasi nasional harus dikembangkan
potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan,
keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan
Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan
ekonomi dan pengembangan wilayah;
c. bahwa perkembangan lingkungan strategis nasional dan
internasional menuntut penyelenggaraan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan yang sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta
akuntabilitas penyelenggaraan negara;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah tidak sesuai lagi
dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis, dan
kebutuhan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan saat ini sehingga perlu diganti dengan undangundang
yang baru;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu
membentuk Undang-Undang tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan;
- 2 -
5. Simpul . . .
Mengingat : Pasal 5 ayat (1) serta Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN
JALAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan
sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan,
Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi,
Pengguna Jalan, serta pengelolaannya.
2. Lalu Lintas adalah gerak Kendaraan dan orang di Ruang
Lalu Lintas Jalan.
3. Angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang
dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan
Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan.
4. Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah
serangkaian Simpul dan/atau ruang kegiatan yang saling
terhubungkan untuk penyelenggaraan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
- 3 -
15. Parkir . . .
5. Simpul adalah tempat yang diperuntukkan bagi
pergantian antarmoda dan intermoda yang berupa
Terminal, stasiun kereta api, pelabuhan laut, pelabuhan
sungai dan danau, dan/atau bandar udara.
6. Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah Ruang
Lalu Lintas, Terminal, dan Perlengkapan Jalan yang
meliputi marka, rambu, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas,
alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan, alat
pengawasan dan pengamanan Jalan, serta fasilitas
pendukung.
7. Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang
terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak
Bermotor.
8. Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang
digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain
Kendaraan yang berjalan di atas rel.
9. Kendaraan Tidak Bermotor adalah setiap Kendaraan yang
digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan.
10. Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan
yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang
dengan dipungut bayaran.
11. Ruang Lalu Lintas Jalan adalah prasarana yang
diperuntukkan bagi gerak pindah Kendaraan, orang,
dan/atau barang yang berupa Jalan dan fasilitas
pendukung.
12. Jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan
pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan
bagi Lalu Lintas umum, yang berada pada permukaan
tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan
tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali
jalan rel dan jalan kabel.
13. Terminal adalah pangkalan Kendaraan Bermotor Umum
yang digunakan untuk mengatur kedatangan dan
keberangkatan, menaikkan dan menurunkan orang
dan/atau barang, serta perpindahan moda angkutan.
14. Halte adalah tempat pemberhentian Kendaraan Bermotor
Umum untuk menaikkan dan menurunkan penumpang.
- 4 -
25. Penumpang . . .
15. Parkir adalah keadaan Kendaraan berhenti atau tidak
bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan
pengemudinya.
16. Berhenti adalah keadaan Kendaraan tidak bergerak
untuk sementara dan tidak ditinggalkan pengemudinya.
17. Rambu Lalu Lintas adalah bagian perlengkapan Jalan
yang berupa lambang, huruf, angka, kalimat, dan/atau
perpaduan yang berfungsi sebagai peringatan, larangan,
perintah, atau petunjuk bagi Pengguna Jalan.
18. Marka Jalan adalah suatu tanda yang berada di
permukaan Jalan atau di atas permukaan Jalan yang
meliputi peralatan atau tanda yang membentuk garis
membujur, garis melintang, garis serong, serta lambang
yang berfungsi untuk mengarahkan arus Lalu Lintas dan
membatasi daerah kepentingan Lalu Lintas.
19. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas adalah perangkat
elektronik yang menggunakan isyarat lampu yang dapat
dilengkapi dengan isyarat bunyi untuk mengatur Lalu
Lintas orang dan/atau Kendaraan di persimpangan atau
pada ruas Jalan.
20. Sepeda Motor adalah Kendaraan Bermotor beroda dua
dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa
kereta samping atau Kendaraan Bermotor beroda tiga
tanpa rumah-rumah.
21. Perusahaan Angkutan Umum adalah badan hukum yang
menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang
dengan Kendaraan Bermotor Umum.
22. Pengguna Jasa adalah perseorangan atau badan hukum
yang menggunakan jasa Perusahaan Angkutan Umum.
23. Pengemudi adalah orang yang mengemudikan Kendaraan
Bermotor di Jalan yang telah memiliki Surat Izin
Mengemudi.
24. Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan
yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan
Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang
mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian
harta benda.
- 5 -
35. Penyidik . . .
25. Penumpang adalah orang yang berada di Kendaraan
selain Pengemudi dan awak Kendaraan.
26. Pejalan Kaki adalah setiap orang yang berjalan di Ruang
Lalu Lintas Jalan.
27. Pengguna Jalan adalah orang yang menggunakan Jalan
untuk berlalu lintas.
28. Dana Preservasi Jalan adalah dana yang khusus
digunakan untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi,
dan rekonstruksi Jalan secara berkelanjutan sesuai
dengan standar yang ditetapkan.
29. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas adalah
serangkaian usaha dan kegiatan yang meliputi
perencanaan, pengadaan, pemasangan, pengaturan, dan
pemeliharaan fasilitas perlengkapan Jalan dalam rangka
mewujudkan, mendukung dan memelihara keamanan,
keselamatan, ketertiban, dan kelancaran Lalu Lintas.
30. Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu
keadaan terbebasnya setiap orang, barang, dan/atau
Kendaraan dari gangguan perbuatan melawan hukum,
dan/atau rasa takut dalam berlalu lintas.
31. Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah
suatu keadaan terhindarnya setiap orang dari risiko
kecelakaan selama berlalu lintas yang disebabkan oleh
manusia, Kendaraan, Jalan, dan/atau lingkungan.
32. Ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu
keadaan berlalu lintas yang berlangsung secara teratur
sesuai dengan hak dan kewajiban setiap Pengguna Jalan.
33. Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu
keadaan berlalu lintas dan penggunaan angkutan yang
bebas dari hambatan dan kemacetan di Jalan.
34. Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan adalah sekumpulan subsistem yang
saling berhubungan dengan melalui penggabungan,
pemrosesan, penyimpanan, dan pendistribusian data
yang terkait dengan penyelenggaraan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
- 6 -
d. asas . . .
35. Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan.
36. Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang karena diberi wewenang
tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur
dalam Undang-Undang ini.
37. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
38. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/walikota,
dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah.
39. Menteri adalah pembantu Presiden yang memimpin
kementerian negara dan bertanggung jawab atas urusan
pemerintahan di bidang Jalan, bidang sarana dan
Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bidang
industri, bidang pengembangan teknologi, atau bidang
pendidikan dan pelatihan.
40. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah
pemimpin Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
penanggung jawab penyelenggaraan fungsi kepolisian
yang meliputi bidang keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan
memperhatikan:
a. asas transparan;
b. asas akuntabel;
c. asas berkelanjutan;
- 7 -
BAB IV . . .
d. asas partisipatif;
e. asas bermanfaat;
f. asas efisien dan efektif;
g. asas seimbang;
h. asas terpadu; dan
i. asas mandiri.
Pasal 3
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan
tujuan:
a. terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan
moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian
nasional, memajukan kesejahteraan umum,
memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta
mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;
b. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan
c. terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum
bagi masyarakat.
BAB III
RUANG LINGKUP KEBERLAKUAN UNDANG-UNDANG
Pasal 4
Undang-Undang ini berlaku untuk membina dan
menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
aman, selamat, tertib, dan lancar melalui:
a. kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang
di Jalan;
b. kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan
fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
c. kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi
Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, pendidikan berlalu
lintas, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta
penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
- 8 -
Pasal 6 . . .
BAB IV
PEMBINAAN
Pasal 5
(1) Negara bertanggung jawab atas Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan dan pembinaannya dilaksanakan oleh
Pemerintah.
(2) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. perencanaan;
b. pengaturan;
c. pengendalian; dan
d. pengawasan.
(3) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh instansi
pembina sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya yang
meliputi:
a. urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh
kementerian negara yang bertanggung jawab di
bidang Jalan;
b. urusan pemerintahan di bidang sarana dan
Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh
kementerian negara yang bertanggung jawab di
bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan;
c. urusan pemerintahan di bidang pengembangan
industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh
kementerian negara yang bertanggung jawab di
bidang industri;
d. urusan pemerintahan di bidang pengembangan
teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh
kementerian negara yang bertanggung jawab di
bidang pengembangan teknologi; dan
e. urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan
Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi,
Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan
Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas,
oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
- 9 -
b. pemberian . . .
Pasal 6
(1) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
dilakukan oleh instansi pembina sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (3) meliputi:
a. penetapan sasaran dan arah kebijakan
pengembangan sistem Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan nasional;
b. penetapan norma, standar, pedoman, kriteria, dan
prosedur penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan yang berlaku secara nasional;
c. penetapan kompetensi pejabat yang melaksanakan
fungsi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
secara nasional;
d. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi,
pemberian izin, dan bantuan teknis kepada
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota;
dan
e. pengawasan terhadap pelaksanaan norma, standar,
pedoman, kriteria, dan prosedur yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah.
(2) Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah dapat menyerahkan sebagian
urusannya kepada pemerintah provinsi dan/atau
pemerintah kabupaten/kota.
(3) Urusan pemerintah provinsi dalam melakukan
pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
a. penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dan
kabupaten/kota yang jaringannya melampaui batas
wilayah kabupaten/kota;
b. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin
kepada perusahaan angkutan umum di provinsi; dan
c. pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan provinsi.
(4) Urusan pemerintah kabupaten/kota dalam melakukan
pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
a. penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota yang
jaringannya berada di wilayah kabupaten/kota;
- 10 -
Pasal 8 . . .
b. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin
kepada perusahaan angkutan umum di
kabupaten/kota; dan
c. pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan kabupaten/kota.
BAB V
PENYELENGGARAAN
Pasal 7
(1) Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam
kegiatan pelayanan langsung kepada masyarakat
dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan
hukum, dan/atau masyarakat.
(2) Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan oleh
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi
instansi masing-masing meliputi:
a. urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh
kementerian negara yang bertanggung jawab di
bidang Jalan;
b. urusan pemerintahan di bidang sarana dan
Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh
kementerian negara yang bertanggung jawab di
bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan;
c. urusan pemerintahan di bidang pengembangan
industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh
kementerian negara yang bertanggung jawab di
bidang industri;
d. urusan pemerintahan di bidang pengembangan
teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh
kementerian negara yang bertanggung jawab di
bidang pengembangan teknologi; dan
e. urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan
Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi,
Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan
Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas,
oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
- 11 -
Pasal 10 . . .
Pasal 8
Penyelenggaraan di bidang Jalan meliputi kegiatan
pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan
prasarana Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2) huruf a, yaitu:
a. inventarisasi tingkat pelayanan Jalan dan
permasalahannya;
b. penyusunan rencana dan program pelaksanaannya serta
penetapan tingkat pelayanan Jalan yang diinginkan;
c. perencanaan, pembangunan, dan optimalisasi
pemanfaatan ruas Jalan;
d. perbaikan geometrik ruas Jalan dan/atau persimpangan
Jalan;
e. penetapan kelas Jalan pada setiap ruas Jalan;
f. uji kelaikan fungsi Jalan sesuai dengan standar keamanan
dan keselamatan berlalu lintas; dan
g. pengembangan sistem informasi dan komunikasi di bidang
prasarana Jalan.
Pasal 9
Penyelenggaraan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2) huruf b meliputi:
a. penetapan rencana umum Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan;
b. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas;
c. persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor;
d. perizinan angkutan umum;
e. pengembangan sistem informasi dan komunikasi di bidang
sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
f. pembinaan sumber daya manusia penyelenggara sarana
dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
g. penyidikan terhadap pelanggaran perizinan angkutan
umum, persyaratan teknis dan kelaikan Jalan Kendaraan
Bermotor yang memerlukan keahlian dan/atau peralatan
khusus yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini.
- 12 -
f. penegakan . . .
Pasal 10
Penyelenggaraan di bidang industri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c meliputi:
a. penyusunan rencana dan program pelaksanaan
pengembangan industri Kendaraan Bermotor;
b. pengembangan industri perlengkapan Kendaraan
Bermotor yang menjamin Keamanan dan Keselamatan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
c. pengembangan industri perlengkapan Jalan yang
menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
Pasal 11
Penyelenggaraan di bidang pengembangan teknologi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d
meliputi:
a. penyusunan rencana dan program pelaksanaan
pengembangan teknologi Kendaraan Bermotor;
b. pengembangan teknologi perlengkapan Kendaraan
Bermotor yang menjamin Keamanan dan Keselamatan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
c. pengembangan teknologi perlengkapan Jalan yang
menjamin Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
Pasal 12
Penyelenggaraan di bidang Registrasi dan Identifikasi
Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum,
Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta
pendidikan berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (2) huruf e meliputi:
a. pengujian dan penerbitan Surat Izin Mengemudi
Kendaraan Bermotor;
b. pelaksanaan registrasi dan identifikasi Kendaraan
Bermotor;
c. pengumpulan, pemantauan, pengolahan, dan penyajian
data Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
d. pengelolaan pusat pengendalian Sistem Informasi dan
Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
e. pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli Lalu
Lintas;
- 13 -
(3) Rencana . . .
f. penegakan hukum yang meliputi penindakan pelanggaran
dan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas;
g. pendidikan berlalu lintas;
h. pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas; dan
i. pelaksanaan manajemen operasional Lalu Lintas.
Pasal 13
(1) Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dilakukan
secara terkoordinasi.
(2) Koordinasi Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(3) Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertugas
melakukan koordinasi antarinstansi penyelenggara yang
memerlukan keterpaduan dalam merencanakan dan
menyelesaikan masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(4) Keanggotaan forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas unsur
pembina, penyelenggara, akademisi, dan masyarakat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai forum Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB VI
JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Bagian Kesatu
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 14
(1) Untuk mewujudkan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
yang terpadu dilakukan pengembangan Jaringan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan untuk menghubungkan
semua wilayah di daratan.
(2) Pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sesuai dengan kebutuhan.
- 14 -
c. Rencana . . .
(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Nasional;
b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Provinsi; dan
c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Kabupaten/Kota.
Pasal 15
(1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3)
huruf a disusun secara berkala dengan
mempertimbangkan kebutuhan transportasi dan ruang
kegiatan berskala nasional.
(2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk
Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Nasional memuat:
a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang
menurut asal tujuan perjalanan lingkup nasional;
b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan nasional dalam keseluruhan moda
transportasi;
c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul nasional; dan
d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas nasional.
Pasal 16
(1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3)
huruf b disusun secara berkala dengan
mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan dan ruang kegiatan berskala provinsi.
(2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk
Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan
- 15 -
d. rencana . . .
c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Nasional.
(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Provinsi memuat:
a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang
menurut asal tujuan perjalanan lingkup provinsi;
b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan provinsi dalam keseluruhan moda
transportasi;
c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul provinsi; dan
d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas provinsi.
Pasal 17
(1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (3) huruf c disusun secara berkala dengan
mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan serta ruang kegiatan berskala
kabupaten/kota.
(2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk
Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan memperhatikan:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Nasional;
c. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
d. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Provinsi; dan
e. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Kabupaten/Kota memuat:
a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang
menurut asal tujuan perjalanan lingkup
kabupaten/kota;
b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan kabupaten/kota dalam keseluruhan
moda transportasi;
c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul
kabupaten/kota; dan
- 16 -
c. jalan . . .
d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas
kabupaten/kota.
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan dan penetapan
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Ruang Lalu Lintas
Paragraf 1
Kelas Jalan
Pasal 19
(1) Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan:
a. fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan
pengaturan penggunaan Jalan dan Kelancaran Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan; dan
b. daya dukung untuk menerima muatan sumbu
terberat dan dimensi Kendaraan Bermotor.
(2) Pengelompokan Jalan menurut kelas Jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang
dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran
lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus)
milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000
(delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi
4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan
sumbu terberat 10 (sepuluh) ton;
b. jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan
lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor
dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu
lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi
12.000 (dua belas ribu) milimeter, ukuran paling
tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan
muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton;
- 17 -
Paragraf 2 . . .
c. jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan
lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor
dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu
seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi
9.000 (sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi
3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan
sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan
d. jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat
dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar
melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter,
ukuran panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu)
milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua
ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih
dari 10 (sepuluh) ton.
(3) Dalam keadaan tertentu daya dukung jalan kelas III
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat
ditetapkan muatan sumbu terberat kurang dari 8
(delapan) ton.
(4) Kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan
prasarana jalan diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang Jalan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan kelas khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 20
(1) Penetapan kelas jalan pada setiap ruas jalan dilakukan
oleh:
a. Pemerintah, untuk jalan nasional;
b. pemerintah provinsi, untuk jalan provinsi;
c. pemerintah kabupaten, untuk jalan kabupaten; atau
d. pemerintah kota, untuk jalan kota.
(2) Kelas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelompokan kelas
jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan tata
cara penetapan kelas jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
- 18 -
(6) Hasil . . .
Paragraf 2
Penggunaan dan Perlengkapan Jalan
Pasal 21
(1) Setiap Jalan memiliki batas kecepatan paling tinggi yang
ditetapkan secara nasional.
(2) Batas kecepatan paling tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditentukan berdasarkan kawasan
permukiman, kawasan perkotaan, jalan antarkota, dan
jalan bebas hambatan.
(3) Atas pertimbangan keselamatan atau pertimbangan
khusus lainnya, Pemerintah Daerah dapat menetapkan
batas kecepatan paling tinggi setempat yang harus
dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.
(4) Batas kecepatan paling rendah pada jalan bebas
hambatan ditetapkan dengan batas absolut 60 (enam
puluh) kilometer per jam dalam kondisi arus bebas.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas kecepatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 22
(1) Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan
laik fungsi Jalan secara teknis dan administratif.
(2) Penyelenggara Jalan wajib melaksanakan uji kelaikan
fungsi Jalan sebelum pengoperasian Jalan.
(3) Penyelenggara Jalan wajib melakukan uji kelaikan fungsi
Jalan pada Jalan yang sudah beroperasi secara berkala
dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau sesuai dengan kebutuhan.
(4) Uji kelaikan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh tim uji laik fungsi
Jalan yang dibentuk oleh penyelenggara Jalan.
(5) Tim uji laik fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) terdiri atas unsur penyelenggara Jalan, instansi
yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
- 19 -
f. alat . . .
(6) Hasil uji kelaikan fungsi Jalan wajib dipublikasikan dan
ditindaklanjuti oleh penyelenggara Jalan, instansi yang
bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, dan/atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
(7) Uji kelaikan fungsi Jalan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 23
(1) Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan preservasi
Jalan dan/atau peningkatan kapasitas Jalan wajib
menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan
Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi
dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang
sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 24
(1) Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk
memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat
mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas.
(2) Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan yang
rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyelenggara Jalan wajib memberi tanda atau rambu
pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya
Kecelakaan Lalu Lintas.
Pasal 25
(1) Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum
wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa:
a. Rambu Lalu Lintas;
b. Marka Jalan;
c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;
d. alat penerangan Jalan;
e. alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan;
- 20 -
Bagian Ketiga . . .
f. alat pengawasan dan pengamanan Jalan;
g. fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang
cacat; dan
h. fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan yang berada di Jalan dan di luar
badan Jalan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 26
(1) Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (1) diselenggarakan oleh:
a. Pemerintah untuk jalan nasional;
b. pemerintah provinsi untuk jalan provinsi;
c. pemerintah kabupaten/kota untuk jalan
kabupaten/kota dan jalan desa; atau
d. badan usaha jalan tol untuk jalan tol.
(2) Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 27
(1) Perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu
disesuaikan dengan kapasitas, intensitas, dan volume
Lalu Lintas.
(2) Ketentuan mengenai pemasangan perlengkapan Jalan
pada jalan lingkungan tertentu diatur dengan peraturan
daerah.
Pasal 28
(1) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang
mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi
Jalan.
(2) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang
mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan
Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1).
- 21 -
(2) Terminal . . .
Bagian Ketiga
Dana Preservasi Jalan
Pasal 29
(1) Untuk mendukung pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar, kondisi
Jalan harus dipertahankan.
(2) Untuk mempertahankan kondisi Jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diperlukan Dana Preservasi
Jalan.
(3) Dana Preservasi Jalan digunakan khusus untuk kegiatan
pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan.
(4) Dana Preservasi Jalan dapat bersumber dari Pengguna
Jalan dan pengelolaannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 30
Pengelolaan Dana Preservasi Jalan harus dilaksanakan
berdasarkan prinsip berkelanjutan, akuntabilitas,
transparansi, keseimbangan, dan kesesuaian.
Pasal 31
Dana Preservasi Jalan dikelola oleh unit pengelola Dana
Preservasi Jalan yang bertanggung jawab kepada Menteri di
bidang Jalan.
Pasal 32
Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja unit pengelola
Dana Preservasi Jalan diatur dengan peraturan Presiden.
Bagian Keempat
Terminal
Paragraf 1
Fungsi, Klasifikasi, dan Tipe Terminal
Pasal 33
(1) Untuk menunjang kelancaran perpindahan orang
dan/atau barang serta keterpaduan intramoda dan
antarmoda di tempat tertentu, dapat dibangun dan
diselenggarakan Terminal.
- 22 -
c. kesesuaian . . .
(2) Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
Terminal penumpang dan/atau Terminal barang.
Pasal 34
(1) Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (2) menurut pelayanannya dikelompokkan
dalam tipe A, tipe B, dan tipe C.
(2) Setiap tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi
dalam beberapa kelas berdasarkan intensitas Kendaraan
yang dilayani.
Pasal 35
Untuk kepentingan sendiri, badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, dan swasta dapat membangun Terminal
barang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 36
Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib
singgah di Terminal yang sudah ditentukan, kecuali
ditetapkan lain dalam izin trayek.
Paragraf 2
Penetapan Lokasi Terminal
Pasal 37
(1) Penentuan lokasi Terminal dilakukan dengan
memperhatikan rencana kebutuhan Terminal yang
merupakan bagian dari Rencana Induk Jaringan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Penetapan lokasi Terminal dilakukan dengan
memperhatikan:
a. tingkat aksesibilitas Pengguna Jasa angkutan;
b. kesesuaian lahan dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota;
- 23 -
(3) Lingkungan . . .
c. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau
kinerja jaringan Jalan, jaringan trayek, dan jaringan
lintas;
d. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau
pusat kegiatan;
e. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain;
f. permintaan angkutan;
g. kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi;
h. Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan; dan/atau
i. kelestarian lingkungan hidup.
Paragraf 3
Fasilitas Terminal
Pasal 38
(1) Setiap penyelenggara Terminal wajib menyediakan
fasilitas Terminal yang memenuhi persyaratan
keselamatan dan keamanan.
(2) Fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi fasilitas utama dan fasilitas penunjang.
(3) Untuk menjaga kondisi fasilitas Terminal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), penyelenggara Terminal wajib
melakukan pemeliharaan.
Paragraf 4
Lingkungan Kerja Terminal
Pasal 39
(1) Lingkungan kerja Terminal merupakan daerah yang
diperuntukkan bagi fasilitas Terminal.
(2) Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikelola oleh penyelenggara Terminal dan
digunakan untuk pelaksanaan pembangunan,
pengembangan, dan pengoperasian fasilitas Terminal.
- 24 -
Bagian Kelima . . .
(3) Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah
kabupaten/kota, khusus Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Provinsi.
Paragraf 5
Pembangunan dan Pengoperasian Terminal
Pasal 40
(1) Pembangunan Terminal harus dilengkapi dengan:
a. rancang bangun;
b. buku kerja rancang bangun;
c. rencana induk Terminal;
d. analisis dampak Lalu Lintas; dan
e. analisis mengenai dampak lingkungan.
(2) Pengoperasian Terminal meliputi kegiatan:
a. perencanaan;
b. pelaksanaan; dan
c. pengawasan operasional Terminal.
Pasal 41
(1) Setiap penyelenggara Terminal wajib memberikan
pelayanan jasa Terminal sesuai dengan standar
pelayanan yang ditetapkan.
(2) Pelayanan jasa Terminal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikenakan retribusi yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 6
Pengaturan Lebih Lanjut
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, klasifikasi, tipe,
penetapan lokasi, fasilitas, lingkungan kerja, pembangunan,
dan pengoperasian Terminal diatur dengan peraturan
pemerintah.
- 25 -
b. lajur . . .
Bagian Kelima
Fasilitas Parkir
Pasal 43
(1) Penyediaan fasilitas Parkir untuk umum hanya dapat
diselenggarakan di luar Ruang Milik Jalan sesuai dengan
izin yang diberikan.
(2) Penyelenggaraan fasilitas Parkir di luar Ruang Milik
Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan oleh perseorangan warga negara Indonesia
atau badan hukum Indonesia berupa:
a. usaha khusus perparkiran; atau
b. penunjang usaha pokok.
(3) Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat
diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan
kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus
dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka
Jalan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengguna Jasa fasilitas
Parkir, perizinan, persyaratan, dan tata cara
penyelenggaraan fasilitas dan Parkir untuk umum diatur
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 44
Penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas Parkir untuk
umum dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan
memperhatikan:
a. rencana umum tata ruang;
b. analisis dampak lalu lintas; dan
c. kemudahan bagi Pengguna Jasa.
Bagian Keenam
Fasilitas Pendukung
Pasal 45
(1) Fasilitas pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan meliputi:
a. trotoar;
- 26 -
b. mobil . . .
b. lajur sepeda;
c. tempat penyeberangan Pejalan Kaki;
d. Halte; dan/atau
e. fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia
usia lanjut.
(2) Penyediaan fasilitas pendukung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diselenggarakan oleh:
a. Pemerintah untuk jalan nasional;
b. pemerintah provinsi untuk jalan provinsi;
c. pemerintah kabupaten untuk jalan kabupaten dan
jalan desa;
d. pemerintah kota untuk jalan kota; dan
e. badan usaha jalan tol untuk jalan tol.
Pasal 46
(1) Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan,
pengelolaan, dan pemeliharaan fasilitas pendukung Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (2) dapat bekerja sama dengan pihak
swasta.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan,
pengelolaan, pemeliharaan, serta spesifikasi teknis
fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB VII
KENDARAAN
Bagian Kesatu
Jenis dan Fungsi Kendaraan
Pasal 47
(1) Kendaraan terdiri atas:
a. Kendaraan Bermotor; dan
b. Kendaraan Tidak Bermotor.
(2) Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dikelompokkan berdasarkan jenis:
a. sepeda motor;
- 27 -
b. kebisingan . . .
b. mobil penumpang;
c. mobil bus;
d. mobil barang; dan
e. kendaraan khusus.
(3) Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b, huruf c, dan huruf d dikelompokkan
berdasarkan fungsi:
a. Kendaraan Bermotor perseorangan; dan
b. Kendaraan Bermotor Umum.
(4) Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dikelompokkan dalam:
a. Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga orang; dan
b. Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga hewan.
Bagian Kedua
Persyaratan Teknis dan Laik Jalan Kendaraan Bermotor
Pasal 48
(1) Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan
harus memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.
(2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. susunan;
b. perlengkapan;
c. ukuran;
d. karoseri;
e. rancangan teknis kendaraan sesuai dengan
peruntukannya;
f. pemuatan;
g. penggunaan;
h. penggandengan Kendaraan Bermotor; dan/atau
i. penempelan Kendaraan Bermotor.
(3) Persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditentukan oleh kinerja minimal Kendaraan Bermotor
yang diukur sekurang-kurangnya terdiri atas:
a. emisi gas buang;
- 28 -
b. penelitian . . .
b. kebisingan suara;
c. efisiensi sistem rem utama;
d. efisiensi sistem rem parkir;
e. kincup roda depan;
f. suara klakson;
g. daya pancar dan arah sinar lampu utama;
h. radius putar;
i. akurasi alat penunjuk kecepatan;
j. kesesuaian kinerja roda dan kondisi ban; dan
k. kesesuaian daya mesin penggerak terhadap berat
Kendaraan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan
laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Ketiga
Pengujian Kendaraan Bermotor
Pasal 49
(1) Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta
tempelan yang diimpor, dibuat dan/atau dirakit di dalam
negeri yang akan dioperasikan di Jalan wajib dilakukan
pengujian.
(2) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. uji tipe; dan
b. uji berkala.
Pasal 50
(1) Uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2)
huruf a wajib dilakukan bagi setiap Kendaraan Bermotor,
kereta gandengan, dan kereta tempelan, yang diimpor,
dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri, serta modifikasi
Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe.
(2) Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. pengujian fisik untuk pemenuhan persyaratan teknis
dan laik jalan yang dilakukan terhadap landasan
Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam
keadaan lengkap; dan
- 29 -
Pasal 52 . . .
b. penelitian rancang bangun dan rekayasa Kendaraan
Bermotor yang dilakukan terhadap rumah-rumah,
bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan, dan
Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi tipenya.
(3) Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh unit pelaksana uji tipe Pemerintah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai uji tipe dan unit
pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(3) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 51
(1) Landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor
dalam keadaan lengkap yang telah lulus uji tipe diberi
sertifikat lulus uji tipe.
(2) Rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan, kereta
tempelan, dan modifikasi tipe Kendaraan Bermotor yang
telah lulus uji tipe diterbitkan surat keputusan
pengesahan rancang bangun dan rekayasa.
(3) Penanggung jawab pembuatan, perakitan, pengimporan
landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor
dalam keadaan lengkap, rumah-rumah, bak muatan,
kereta gandengan dan kereta tempelan, serta Kendaraan
Bermotor yang dimodifikasi harus meregistrasikan tipe
produksinya.
(4) Sebagai bukti telah dilakukan registrasi tipe produksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diberikan tanda
bukti sertifikat registrasi uji tipe.
(5) Sebagai jaminan kesesuaian spesifikasi teknik seri
produksinya terhadap sertifikat uji tipe, dilakukan uji
sampel oleh unit pelaksana uji tipe Pemerintah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai modifikasi dan uji tipe
diatur dengan peraturan pemerintah.
- 30 -
Pasal 54 . . .
Pasal 52
(1) Modifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (1) dapat berupa modifikasi dimensi,
mesin, dan kemampuan daya angkut.
(2) Modifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak boleh membahayakan keselamatan
berlalu lintas, mengganggu arus lalu lintas, serta
merusak lapis perkerasan/daya dukung jalan yang
dilalui.
(3) Setiap Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi sehingga
mengubah persyaratan konstruksi dan material wajib
dilakukan uji tipe ulang.
(4) Bagi Kendaraan Bermotor yang telah diuji tipe ulang
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus dilakukan
registrasi dan identifikasi ulang.
Pasal 53
(1) Uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat
(2) huruf b diwajibkan untuk mobil penumpang umum,
mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta
tempelan yang dioperasikan di Jalan.
(2) Pengujian berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi kegiatan:
a. pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan
Bermotor; dan
b. pengesahan hasil uji.
(3) Kegiatan pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan
Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dilaksanakan oleh:
a. unit pelaksana pengujian pemerintah
kabupaten/kota;
b. unit pelaksana agen tunggal pemegang merek yang
mendapat izin dari Pemerintah; atau
c. unit pelaksana pengujian swasta yang mendapatkan
izin dari Pemerintah.
- 31 -
Pasal 55 . . .
Pasal 54
(1) Pemeriksaan dan pengujian fisik mobil penumpang
umum, mobil bus, mobil barang, kendaraan khusus,
kereta gandengan, dan kereta tempelan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a meliputi
pengujian terhadap persyaratan teknis dan laik jalan.
(2) Pengujian terhadap persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. susunan;
b. perlengkapan;
c. ukuran;
d. karoseri; dan
e. rancangan teknis Kendaraan Bermotor sesuai dengan
peruntukannya.
(3) Pengujian terhadap persyaratan laik jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. emisi gas buang Kendaraan Bermotor;
b. tingkat kebisingan;
c. kemampuan rem utama;
d. kemampuan rem parkir;
e. kincup roda depan;
f. kemampuan pancar dan arah sinar lampu utama;
g. akurasi alat penunjuk kecepatan; dan
h. kedalaman alur ban.
(4) Pengujian terhadap persyaratan laik jalan kereta
gandengan dan kereta tempelan meliputi uji kemampuan
rem, kedalaman alur ban, dan uji sistem lampu.
(5) Bukti lulus uji berkala hasil pemeriksaan dan pengujian
fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
pemberian kartu uji dan tanda uji.
(6) Kartu uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
memuat keterangan tentang identifikasi Kendaraan
Bermotor dan identitas pemilik, spesifikasi teknis, hasil
uji, dan masa berlaku hasil uji.
(7) Tanda uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
memuat keterangan tentang identifikasi Kendaraan
Bermotor dan masa berlaku hasil uji.
- 32 -
c. segitiga . . .
Pasal 55
(1) Pengesahan hasil uji sebagaimana dimaksud dalam Pasal
53 ayat (2) huruf b diberikan oleh:
a. petugas yang memiliki kompetensi yang ditetapkan
oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang
sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan atas usul gubernur untuk pengujian yang
dilakukan oleh unit pelaksana pengujian pemerintah
kabupaten/kota; dan
b. petugas swasta yang memiliki kompetensi yang
ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di
bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan untuk pengujian yang dilakukan oleh
unit pelaksana pengujian agen tunggal pemegang
merek dan unit pelaksana pengujian swasta.
(2) Kompetensi petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuktikan dengan sertifikat tanda lulus pendidikan dan
pelatihan.
Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut mengenai uji berkala sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 diatur
dengan peraturan pemerintah.
Bagian Keempat
Perlengkapan Kendaraan Bermotor
Pasal 57
(1) Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan
wajib dilengkapi dengan perlengkapan Kendaraan
Bermotor.
(2) Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi
Sepeda Motor berupa helm standar nasional Indonesia.
(3) Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi
Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih sekurangkurangnya
terdiri atas:
a. sabuk keselamatan;
b. ban cadangan;
- 33 -
b. lampu . . .
c. segitiga pengaman;
d. dongkrak;
e. pembuka roda;
f. helm dan rompi pemantul cahaya bagi Pengemudi
Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang
tidak memiliki rumah-rumah; dan
g. peralatan pertolongan pertama pada Kecelakaan Lalu
Lintas.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 58
Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan
dilarang memasang perlengkapan yang dapat mengganggu
keselamatan berlalu lintas.
Pasal 59
(1) Untuk kepentingan tertentu, Kendaraan Bermotor dapat
dilengkapi dengan lampu isyarat dan/atau sirene.
(2) Lampu isyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas warna:
a. merah;
b. biru; dan
c. kuning.
(3) Lampu isyarat warna merah atau biru sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b serta sirene
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai
tanda Kendaraan Bermotor yang memiliki hak utama.
(4) Lampu isyarat warna kuning sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c berfungsi sebagai tanda peringatan
kepada Pengguna Jalan lain.
(5) Penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sebagai berikut:
a. lampu isyarat warna biru dan sirene digunakan
untuk Kendaraan Bermotor petugas Kepolisian
Negara Republik Indonesia;
- 34 -
(5) Pengawasan . . .
b. lampu isyarat warna merah dan sirene digunakan
untuk Kendaraan Bermotor tahanan, pengawalan
Tentara Nasional Indonesia, pemadam kebakaran,
ambulans, palang merah, rescue, dan jenazah; dan
c. lampu isyarat warna kuning tanpa sirene digunakan
untuk Kendaraan Bermotor patroli jalan tol,
pengawasan sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, perawatan dan pembersihan fasilitas
umum, menderek Kendaraan, dan angkutan barang
khusus.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, prosedur,
dan tata cara pemasangan lampu isyarat dan sirene
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan pemerintah.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan
lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Bagian Kelima
Bengkel Umum Kendaraan Bermotor
Pasal 60
(1) Bengkel umum Kendaraan Bermotor berfungsi untuk
memperbaiki dan merawat Kendaraan Bermotor, wajib
memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.
(2) Bengkel umum yang mempunyai akreditasi dan kualitas
tertentu dapat melakukan pengujian berkala Kendaraan
Bermotor.
(3) Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di
bidang industri.
(4) Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus mendapatkan izin dari pemerintah
kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi dari
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
- 35 -
(2) Pesepeda . . .
(5) Pengawasan terhadap bengkel umum Kendaraan
Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata
cara penyelenggaraan bengkel umum diatur dengan
peraturan pemerintah.
Bagian Keenam
Kendaraan Tidak Bermotor
Pasal 61
(1) Setiap Kendaraan Tidak Bermotor yang dioperasikan di
Jalan wajib memenuhi persyaratan keselamatan,
meliputi:
a. persyaratan teknis; dan
b. persyaratan tata cara memuat barang.
(2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a sekurang-kurangnya meliputi:
a. konstruksi;
b. sistem kemudi;
c. sistem roda;
d. sistem rem;
e. lampu dan pemantul cahaya; dan
f. alat peringatan dengan bunyi.
(3) Persyaratan tata cara memuat barang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b sekurang-kurangnya
meliputi dimensi dan berat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan
keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 62
(1) Pemerintah harus memberikan kemudahan berlalu lintas
bagi pesepeda.
- 36 -
d. perencanaan . . .
(2) Pesepeda berhak atas fasilitas pendukung keamanan,
keselamatan, ketertiban, dan kelancaran dalam berlalu
lintas.
Pasal 63
(1) Pemerintah Daerah dapat menentukan jenis dan
penggunaan Kendaraan Tidak Bermotor di daerahnya
sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan penggunaan
Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan penggunaan
Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang bersifat lintas kabupaten/kota diatur
dengan peraturan daerah provinsi.
Bagian Ketujuh
Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor
Pasal 64
(1) Setiap Kendaraan Bermotor wajib diregistrasikan.
(2) Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. registrasi Kendaraan Bermotor baru;
b. registrasi perubahan identitas Kendaraan Bermotor
dan pemilik;
c. registrasi perpanjangan Kendaraan Bermotor;
dan/atau
d. registrasi pengesahan Kendaraan Bermotor.
(3) Registrasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bertujuan untuk:
a. tertib administrasi;
b. pengendalian dan pengawasan Kendaraan Bermotor
yang dioperasikan di Indonesia;
c. mempermudah penyidikan pelanggaran dan/atau
kejahatan;
- 37 -
Pasal 67 . . .
d. perencanaan, operasional Manajemen dan Rekayasa
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
e. perencanaan pembangunan nasional.
(4) Registrasi Kendaraan Bermotor dilaksanakan oleh
Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui sistem
manajemen registrasi Kendaraan Bermotor.
(5) Data registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor
merupakan bagian dari Sistem Informasi dan Komunikasi
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan digunakan untuk
forensik kepolisian.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai registrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 65
(1) Registrasi Kendaraan Bermotor baru sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf a meliputi
kegiatan:
a. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan
pemiliknya;
b. penerbitan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor; dan
c. penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor
dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.
(2) Sebagai bukti bahwa Kendaraan Bermotor telah
diregistrasi, pemilik diberi Buku Pemilik Kendaraan
Bermotor, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, dan
Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.
Pasal 66
Registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor untuk
pertama kali harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki sertifikat registrasi uji tipe;
b. memiliki bukti kepemilikan Kendaraan Bermotor yang sah;
dan
c. memiliki hasil pemeriksaan cek fisik Kendaraan Bermotor.
- 38 -
(6) Ketentuan . . .
Pasal 67
(1) Registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor,
pembayaran pajak Kendaraan Bermotor, dan
pembayaran Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan secara
terintegrasi dan terkoordinasi dalam Sistem Administrasi
Manunggal Satu Atap.
(2) Sarana dan prasarana penyelenggaraan Sistem
Administrasi Manunggal Satu Atap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disediakan oleh Pemerintah
Daerah.
(3) Mekanisme penyelenggaraan Sistem Administrasi
Manunggal Satu Atap dikoordinasikan oleh Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan
prosedur serta pelaksanaan Sistem Administrasi
Manunggal Satu Atap sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan peraturan Presiden.
Pasal 68
(1) Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan
wajib dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan
Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.
(2) Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memuat data Kendaraan
Bermotor, identitas pemilik, nomor registrasi Kendaraan
Bermotor, dan masa berlaku.
(3) Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memuat kode wilayah, nomor
registrasi, dan masa berlaku.
(4) Tanda Nomor Kendaraan Bermotor harus memenuhi
syarat bentuk, ukuran, bahan, warna, dan cara
pemasangan.
(5) Selain Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat dikeluarkan Tanda Nomor
Kendaraan Bermotor khusus dan/atau Tanda Nomor
Kendaraan Bermotor rahasia.
- 39 -
c. kepemilikan . . .
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Surat Tanda Nomor
Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan
Bermotor diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Pasal 69
(1) Setiap Kendaraan Bermotor yang belum diregistrasi dapat
dioperasikan di Jalan untuk kepentingan tertentu dengan
dilengkapi Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan
Tanda Coba Nomor Kendaraan Bermotor.
(2) Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba
Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan oleh Kepolisian Negara Republik
Indonesia kepada badan usaha di bidang penjualan,
pembuatan, perakitan, atau impor Kendaraan Bermotor.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata
cara pemberian dan penggunaan Surat Tanda Coba
Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor Kendaraan
Bermotor diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Pasal 70
(1) Buku Pemilik Kendaraan Bermotor berlaku selama
kepemilikannya tidak dipindahtangankan.
(2) Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda
Nomor Kendaraan Bermotor berlaku selama 5 (lima)
tahun, yang harus dimintakan pengesahan setiap tahun.
(3) Sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Surat Tanda Nomor Kendaraan
Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor wajib
diajukan permohonan perpanjangan.
Pasal 71
(1) Pemilik Kendaraan Bermotor wajib melaporkan kepada
Kepolisian Negara Republik Indonesia jika:
a. bukti registrasi hilang atau rusak;
b. spesifikasi teknis dan/atau fungsi Kendaraan
Bermotor diubah;
- 40 -
Pasal 74 . . .
c. kepemilikan Kendaraan Bermotor beralih; atau
d. Kendaraan Bermotor digunakan secara terusmenerus
lebih dari 3 (tiga) bulan di luar wilayah
Kendaraan diregistrasi.
(2) Pelaporan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c disampaikan
kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia di tempat
Kendaraan Bermotor tersebut terakhir diregistrasi.
(3) Pelaporan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d disampaikan kepada Kepolisian
Negara Republik Indonesia di tempat Kendaraan
Bermotor tersebut dioperasikan.
Pasal 72
(1) Registrasi Kendaraan Bermotor Tentara Nasional
Indonesia diatur dengan peraturan Panglima Tentara
Nasional Indonesia dan dilaporkan untuk pendataan
kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2) Registrasi Kendaraan Bermotor Kepolisian Negara
Republik Indonesia diatur dengan peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Registrasi Kendaraan Bermotor perwakilan negara asing
dan lembaga internasional diatur dengan peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 73
(1) Kendaraan Bermotor Umum yang telah diregistrasi dapat
dihapus dari daftar registrasi dan identifikasi Kendaraan
Bermotor Umum atas dasar:
a. permintaan pemilik Kendaraan Bermotor Umum; atau
b. usulan pejabat yang berwenang memberi izin
angkutan umum.
(2) Setiap Kendaraan Bermotor Umum yang tidak lagi
digunakan sebagai angkutan umum wajib dihapuskan
dari daftar registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor
Umum.
- 41 -
(2) Setiap . . .
Pasal 74
(1) Kendaraan Bermotor yang telah diregistrasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dapat dihapus dari
daftar registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor
atas dasar:
a. permintaan pemilik Kendaraan Bermotor; atau
b. pertimbangan pejabat yang berwenang melaksanakan
registrasi Kendaraan Bermotor.
(2) Penghapusan registrasi dan identifikasi Kendaraan
Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dapat dilakukan jika:
a. Kendaraan Bermotor rusak berat sehingga tidak
dapat dioperasikan; atau
b. pemilik Kendaraan Bermotor tidak melakukan
registrasi ulang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun
setelah habis masa berlaku Surat Tanda Nomor
Kendaraan Bermotor.
(3) Kendaraan Bermotor yang telah dihapus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diregistrasi kembali.
Pasal 75
Ketentuan lebih lanjut mengenai Buku Pemilik Kendaraan
Bermotor, penghapusan registrasi dan identifikasi Kendaraan
Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, Pasal 73,
dan Pasal 74 diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Bagian Kedelapan
Sanksi Administratif
Pasal 76
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 53 ayat (1),
Pasal 54 ayat (2) atau ayat (3), atau Pasal 60 ayat (3)
dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembayaran denda;
c. pembekuan izin; dan/atau
d. pencabutan izin.
- 42 -
(2) Surat . . .
(2) Setiap orang yang menyelenggarakan bengkel umum
yang melanggar ketentuan Pasal 60 ayat (3) dikenai
sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembayaran denda; dan/atau
c. penutupan bengkel umum.
(3) Setiap petugas pengesah swasta yang melanggar
ketentuan Pasal 54 ayat (2) atau ayat (3) dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembayaran denda;
c. pembekuan sertifikat pengesah; dan/atau
d. pencabutan sertifikat pengesah.
(4) Setiap petugas penguji atau pengesah uji berkala yang
melanggar ketentuan Pasal 54 ayat (2) atau ayat (3)
dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan
peraturan pemerintah.
BAB VIII
PENGEMUDI
Bagian Kesatu
Surat Izin Mengemudi
Paragraf 1
Persyaratan Pengemudi
Pasal 77
(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di
Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai
dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan.
- 43 -
Pasal 79 . . .
(2) Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas 2 (dua) jenis:
a. Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor
perseorangan; dan
b. Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum.
(3) Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi, calon
Pengemudi harus memiliki kompetensi mengemudi yang
dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan atau
belajar sendiri.
(4) Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi Kendaraan
Bermotor Umum, calon Pengemudi wajib mengikuti
pendidikan dan pelatihan Pengemudi angkutan umum.
(5) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) hanya diikuti oleh orang yang telah memiliki
Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor
perseorangan.
Paragraf 2
Pendidikan dan Pelatihan Pengemudi
Pasal 78
(1) Pendidikan dan pelatihan mengemudi diselenggarakan
oleh lembaga yang mendapat izin dan terakreditasi dari
Pemerintah.
(2) Izin penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
mengemudi yang diberikan oleh Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah
Daerah.
(3) Izin penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
mengemudi yang diberikan oleh Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Menteri yang membidangi sarana dan
Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
- 44 -
(2) Syarat . . .
Pasal 79
(1) Setiap calon Pengemudi pada saat belajar mengemudi
atau mengikuti ujian praktik mengemudi di Jalan wajib
didampingi instruktur atau penguji.
(2) Instruktur atau penguji sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertanggung jawab atas pelanggaran dan/atau
Kecelakaan Lalu Lintas yang terjadi saat calon
Pengemudi belajar atau menjalani ujian.
Paragraf 3
Bentuk dan Penggolongan Surat Izin Mengemudi
Pasal 80
Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor
perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2)
huruf a digolongkan menjadi:
a. Surat Izin Mengemudi A berlaku untuk mengemudikan
mobil penumpang dan barang perseorangan dengan
jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi 3.500 (tiga
ribu lima ratus) kilogram;
b. Surat Izin Mengemudi B I berlaku untuk mengemudikan
mobil penumpang dan barang perseorangan dengan
jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 (tiga
ribu lima ratus) kilogram;
c. Surat Izin Mengemudi B II berlaku untuk mengemudikan
Kendaraan alat berat, Kendaraan penarik, atau Kendaraan
Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau
gandengan perseorangan dengan berat yang diperbolehkan
untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000
(seribu) kilogram;
d. Surat Izin Mengemudi C berlaku untuk mengemudikan
Sepeda Motor; dan
e. Surat Izin Mengemudi D berlaku untuk mengemudikan
kendaraan khusus bagi penyandang cacat.
Pasal 81
(1) Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77, setiap orang harus memenuhi
persyaratan usia, administratif, kesehatan, dan lulus
ujian.
- 45 -
Pasal 82 . . .
(2) Syarat usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditentukan paling rendah sebagai berikut:
a. usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin
Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat
Izin Mengemudi D;
b. usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin
Mengemudi B I; dan
c. usia 21 (dua puluh satu) tahun untuk Surat Izin
Mengemudi B II.
(3) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. identitas diri berupa Kartu Tanda Penduduk;
b. pengisian formulir permohonan; dan
c. rumusan sidik jari.
(4) Syarat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. sehat jasmani dengan surat keterangan dari dokter;
dan
b. sehat rohani dengan surat lulus tes psikologis.
(5) Syarat lulus ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. ujian teori;
b. ujian praktik; dan/atau
c. ujian keterampilan melalui simulator.
(6) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), setiap Pengemudi
Kendaraan Bermotor yang akan mengajukan
permohonan:
a. Surat Izin Mengemudi B I harus memiliki Surat Izin
Mengemudi A sekurang-kurangnya 12 (dua belas)
bulan; dan
b. Surat Izin Mengemudi B II harus memiliki Surat Izin
Mengemudi B I sekurang-kurangnya 12 (dua belas)
bulan.
- 46 -
5. tempat . . .
Pasal 82
Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor Umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) huruf b
digolongkan menjadi:
a. Surat Izin Mengemudi A Umum berlaku untuk
mengemudikan kendaraan bermotor umum dan barang
dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi
3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;
b. Surat Izin Mengemudi B I Umum berlaku untuk
mengemudikan mobil penumpang dan barang umum
dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500
(tiga ribu lima ratus) kilogram; dan
c. Surat Izin Mengemudi B II Umum berlaku untuk
mengemudikan Kendaraan penarik atau Kendaraan
Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau
gandengan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta
tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 (seribu)
kilogram.
Pasal 83
(1) Setiap orang yang mengajukan permohonan untuk dapat
memiliki Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan
Bermotor Umum harus memenuhi persyaratan usia dan
persyaratan khusus.
(2) Syarat usia untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi
Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut:
a. usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin
Mengemudi A Umum;
b. usia 22 (dua puluh dua) tahun untuk Surat Izin
Mengemudi B I Umum; dan
c. usia 23 (dua puluh tiga) tahun untuk Surat Izin
Mengemudi B II Umum.
(3) Persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sebagai berikut:
a. lulus ujian teori yang meliputi pengetahuan mengenai:
1. pelayanan angkutan umum;
2. fasilitas umum dan fasilitas sosial;
3. pengujian Kendaraan Bermotor;
4. tata cara mengangkut orang dan/atau barang;
- 47 -
b. Surat . . .
5. tempat penting di wilayah domisili;
6. jenis barang berbahaya; dan
7. pengoperasian peralatan keamanan.
b. lulus ujian praktik, yang meliputi:
1. menaikkan dan menurunkan penumpang
dan/atau barang di Terminal dan di tempat
tertentu lainnya;
2. tata cara mengangkut orang dan/atau barang;
3. mengisi surat muatan;
4. etika Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum; dan
5. pengoperasian peralatan keamanan.
(4) Dengan memperhatikan syarat usia, setiap Pengemudi
Kendaraan Bermotor yang akan mengajukan
permohonan:
a. Surat Izin Mengemudi A Umum harus memiliki Surat
Izin Mengemudi A sekurang-kurangnya 12 (dua belas)
bulan;
b. untuk Surat Izin Mengemudi B I Umum harus
memiliki Surat Izin Mengemudi B I atau Surat Izin
Mengemudi A Umum sekurang-kurangnya 12 (dua
belas) bulan; dan
c. untuk Surat Izin Mengemudi B II Umum harus
memiliki Surat Izin Mengemudi B II atau Surat Izin
Mengemudi B I Umum sekurang-kurangnya 12 (dua
belas) bulan.
(5) Selain harus memenuhi persyaratan usia dan
persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3), setiap orang yang mengajukan permohonan
untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi Kendaraan
Bermotor Umum harus memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (3) dan ayat
(4).
Pasal 84
Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor dapat
digunakan sebagai Surat Izin Mengemudi Kendaraan
Bermotor yang jumlah beratnya sama atau lebih rendah,
sebagai berikut:
a. Surat Izin Mengemudi A Umum dapat berlaku untuk
mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya
menggunakan Surat Izin Mengemudi A;
- 48 -
Paragraf 4 . . .
b. Surat Izin Mengemudi B I dapat berlaku untuk
mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya
menggunakan Surat Izin Mengemudi A;
c. Surat Izin Mengemudi B I Umum dapat berlaku untuk
mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya
menggunakan Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin
Mengemudi A Umum, dan Surat Izin Mengemudi B I;
d. Surat Izin Mengemudi B II dapat berlaku untuk
mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya
menggunakan Surat Izin Mengemudi A dan Surat Izin
Mengemudi B I; atau
e. Surat Izin Mengemudi B II Umum dapat berlaku untuk
mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya
menggunakan Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin
Mengemudi A Umum, Surat Izin Mengemudi B I, Surat Izin
Mengemudi B I Umum, dan Surat Izin Mengemudi B II.
Pasal 85
(1) Surat Izin Mengemudi berbentuk kartu elektronik atau
bentuk lain.
(2) Surat Izin Mengemudi berlaku selama 5 (lima) tahun dan
dapat diperpanjang.
(3) Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
(4) Dalam hal terdapat perjanjian bilateral atau multilateral
antara Negara Kesatuan Republik Indonesia dan negara
lain, Surat Izin Mengemudi yang diterbitkan di Indonesia
dapat pula berlaku di negara lain dan Surat Izin
Mengemudi yang diterbitkan oleh negara lain berlaku di
Indonesia.
(5) Pemegang Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dapat memperoleh Surat Izin Mengemudi
internasional yang diterbitkan oleh Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
- 49 -
Paragraf 2 . . .
Paragraf 4
Fungsi Surat Izin Mengemudi
Pasal 86
(1) Surat Izin Mengemudi berfungsi sebagai bukti
kompetensi mengemudi.
(2) Surat Izin Mengemudi berfungsi sebagai registrasi
Pengemudi Kendaraan Bermotor yang memuat
keterangan identitas lengkap Pengemudi.
(3) Data pada registrasi Pengemudi dapat digunakan untuk
mendukung kegiatan penyelidikan, penyidikan, dan
identifikasi forensik kepolisian.
Bagian Kedua
Penerbitan dan Penandaan Surat Izin Mengemudi
Paragraf 1
Penerbitan Surat Izin Mengemudi
Pasal 87
(1) Surat Izin Mengemudi diberikan kepada setiap calon
Pengemudi yang lulus ujian mengemudi.
(2) Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diterbitkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib
menyelenggarakan sistem informasi penerbitan Surat Izin
Mengemudi.
(4) Setiap petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia di
bidang penerbitan Surat Izin Mengemudi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib menaati prosedur
penerbitan Surat Izin Mengemudi.
Pasal 88
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, persyaratan,
pengujian, dan penerbitan Surat Izin Mengemudi diatur
dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
- 50 -
Bagian Keempat . . .
Paragraf 2
Pemberian Tanda Pelanggaran pada Surat Izin Mengemudi
Pasal 89
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang
memberikan tanda atau data pelanggaran terhadap Surat
Izin Mengemudi milik Pengemudi yang melakukan
pelanggaran tindak pidana Lalu Lintas.
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk
menahan sementara atau mencabut Surat Izin
Mengemudi sementara sebelum diputus oleh pengadilan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian tanda atau
data pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Bagian Ketiga
Waktu Kerja Pengemudi
Pasal 90
(1) Setiap Perusahaan Angkutan Umum wajib mematuhi dan
memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu
istirahat, dan pergantian Pengemudi Kendaraan Bermotor
Umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Waktu kerja bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 8
(delapan) jam sehari.
(3) Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum setelah
mengemudikan Kendaraan selama 4 (empat) jam
berturut-turut wajib beristirahat paling singkat setengah
jam.
(4) Dalam hal tertentu Pengemudi dapat dipekerjakan paling
lama 12 (dua belas) jam sehari termasuk waktu istirahat
selama 1 (satu) jam.
- 51 -
BAB IX . . .
Bagian Keempat
Sanksi Administratif
Pasal 91
(1) Setiap petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia di
bidang penerbitan Surat Izin Mengemudi yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat
(4) dikenai sanksi administratif berupa sanksi disiplin
dan/atau etika profesi kepolisian.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Pasal 92
(1) Setiap Perusahaan Angkutan Umum yang tidak
mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai
waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi
Kendaraan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
90 dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberian denda administratif;
c. pembekuan izin; dan/atau
d. pencabutan izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
- 52 -
Pasal 94 . . .
BAB IX
LALU LINTAS
Bagian Kesatu
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas
Paragraf 1
Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas
Pasal 93
(1) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dilaksanakan
untuk mengoptimalkan penggunaan jaringan Jalan dan
gerakan Lalu Lintas dalam rangka menjamin Keamanan,
Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
(2) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. penetapan prioritas angkutan massal melalui
penyediaan lajur atau jalur atau jalan khusus;
b. pemberian prioritas keselamatan dan kenyamanan
Pejalan Kaki;
c. pemberian kemudahan bagi penyandang cacat;
d. pemisahan atau pemilahan pergerakan arus Lalu
Lintas berdasarkan peruntukan lahan, mobilitas, dan
aksesibilitas;
e. pemaduan berbagai moda angkutan;
f. pengendalian Lalu Lintas pada persimpangan;
g. pengendalian Lalu Lintas pada ruas Jalan; dan/atau
h. perlindungan terhadap lingkungan.
(3) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas meliputi kegiatan:
a. perencanaan;
b. pengaturan;
c. perekayasaan;
d. pemberdayaan; dan
e. pengawasan.
- 53 -
d. pelatihan . . .
Pasal 94
(1) Kegiatan perencanaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 93 ayat (3) huruf a meliputi:
a. identifikasi masalah Lalu Lintas;
b. inventarisasi dan analisis situasi arus Lalu Lintas;
c. inventarisasi dan analisis kebutuhan angkutan orang
dan barang;
d. inventarisasi dan analisis ketersediaan atau daya
tampung jalan;
e. inventarisasi dan analisis ketersediaan atau daya
tampung Kendaraan;
f. inventarisasi dan analisis angka pelanggaran dan
Kecelakaan Lalu Lintas;
g. inventarisasi dan analisis dampak Lalu Lintas;
h. penetapan tingkat pelayanan; dan
i. penetapan rencana kebijakan pengaturan
penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas.
(2) Kegiatan pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
93 ayat (3) huruf b meliputi:
a. penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan
gerakan Lalu Lintas pada jaringan Jalan tertentu; dan
b. pemberian informasi kepada masyarakat dalam
pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan.
(3) Kegiatan perekayasaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 93 ayat (3) huruf c meliputi:
a. perbaikan geometrik ruas Jalan dan/atau
persimpangan serta perlengkapan Jalan yang tidak
berkaitan langsung dengan Pengguna Jalan;
b. pengadaan, pemasangan, perbaikan, dan
pemeliharaan perlengkapan Jalan yang berkaitan
langsung dengan Pengguna Jalan; dan
c. optimalisasi operasional rekayasa Lalu Lintas dalam
rangka meningkatkan ketertiban, kelancaran, dan
efektivitas penegakan hukum.
(4) Kegiatan pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 93 ayat (3) huruf d meliputi pemberian:
a. arahan;
b. bimbingan;
c. penyuluhan;
- 54 -
(2) Menteri . . .
d. pelatihan; dan
e. bantuan teknis.
(5) Kegiatan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 93 ayat (3) huruf e meliputi:
a. penilaian terhadap pelaksanaan kebijakan;
b. tindakan korektif terhadap kebijakan; dan
c. tindakan penegakan hukum.
Pasal 95
(1) Penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan
gerakan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
94 ayat (2) huruf a yang berupa perintah, larangan,
peringatan, atau petunjuk diatur dengan:
a. peraturan Menteri yang membidangi sarana dan
Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk
jalan nasional;
b. peraturan daerah provinsi untuk jalan provinsi;
c. peraturan daerah kabupaten untuk jalan kabupaten
dan jalan desa; atau
d. peraturan daerah kota untuk jalan kota.
(2) Perintah, larangan, peringatan, atau petunjuk
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan
dengan Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan/atau Alat
Pemberi Isyarat Lalu Lintas.
Paragraf 2
Tanggung Jawab Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas
Pasal 96
(1) Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan bertanggung jawab atas
pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c, huruf e, huruf g, huruf h, dan huruf i,
Pasal 94 ayat (2), Pasal 94 ayat (3) huruf b, Pasal 94 ayat
(4), serta Pasal 94 ayat (5) huruf a dan huruf b untuk
jaringan jalan nasional.
- 55 -
Pasal 98 . . .
(2) Menteri yang membidangi Jalan bertanggung jawab atas
pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf d, huruf g, huruf h, dan huruf i, serta
Pasal 94 ayat (3) huruf a untuk jalan nasional.
(3) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan
Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf f, huruf g, dan
huruf i, Pasal 94 ayat (3) huruf c, dan Pasal 94 ayat (5).
(4) Gubernur bertanggung jawab atas pelaksanaan
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan provinsi
setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait.
(5) Bupati bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen
dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan kabupaten dan/atau
jalan desa setelah mendapat rekomendasi dari instansi
terkait.
(6) Walikota bertanggung jawab atas pelaksanaan
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan kota
setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait.
Pasal 97
(1) Dalam hal terjadi perubahan arus Lalu Lintas secara
tiba-tiba atau situasional, Kepolisian Negara Republik
Indonesia dapat melaksanakan Manajemen dan Rekayasa
Lalu Lintas kepolisian.
(2) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepolisian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
menggunakan Rambu Lalu Lintas, Alat Pemberi Isyarat
Lalu Lintas, serta alat pengendali dan pengaman
Pengguna Jalan yang bersifat sementara.
(3) Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat memberikan
rekomendasi pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu
Lintas kepada instansi terkait.
- 56 -
(2) Hasil . . .
Pasal 98
(1) Penanggung jawab pelaksana Manajemen dan Rekayasa
Lalu Lintas wajib berkoordinasi dan membuat analisis,
evaluasi, dan laporan pelaksanaan berdasarkan data dan
kinerjanya.
(2) Laporan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disampaikan kepada forum Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan.
Bagian Kedua
Analisis Dampak Lalu Lintas
Pasal 99
(1) Setiap rencana pembangunan pusat kegiatan,
permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan
gangguan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan
Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib
dilakukan analisis dampak Lalu Lintas.
(2) Analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. analisis bangkitan dan tarikan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan;
b. simulasi kinerja Lalu Lintas tanpa dan dengan
adanya pengembangan;
c. rekomendasi dan rencana implementasi penanganan
dampak;
d. tanggung jawab Pemerintah dan pengembang atau
pembangun dalam penanganan dampak; dan
e. rencana pemantauan dan evaluasi.
(3) Hasil analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu syarat
bagi pengembang untuk mendapatkan izin Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah menurut peraturan
perundang-undangan.
Pasal 100
(1) Analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 99 ayat (1) dilakukan oleh lembaga
konsultan yang memiliki tenaga ahli bersertifikat.
- 57 -
Paragraf 2 . . .
(2) Hasil analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3) harus mendapatkan
persetujuan dari instansi yang terkait di bidang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 101
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan analisis
dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99
dan Pasal 100 diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Ketiga
Pengutamaan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas,
Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan Petugas yang Berwenang
Paragraf 1
Syarat dan Prosedur Pemasangan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas,
Rambu Lalu Lintas, dan Marka Jalan
Pasal 102
(1) Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas,
dan/atau Marka Jalan yang bersifat perintah, larangan,
peringatan, atau petunjuk pada jaringan atau ruas Jalan
pemasangannya harus diselesaikan paling lama 60 (enam
puluh) hari sejak tanggal pemberlakuan peraturan
Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan atau peraturan daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1).
(2) Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas,
dan/atau Marka Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mempunyai kekuatan hukum yang berlaku mengikat
30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pemasangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kekuatan hukum Alat
Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas,
dan/atau Marka Jalan diatur dengan peraturan
pemerintah.
- 58 -
(3) Pengguna . . .
Paragraf 2
Pengutamaan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas dan Rambu Lalu Lintas
Pasal 103
(1) Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas yang bersifat perintah
atau larangan harus diutamakan daripada Rambu Lalu
Lintas dan/atau Marka Jalan.
(2) Rambu Lalu Lintas yang bersifat perintah atau larangan
harus diutamakan daripada Marka Jalan.
(3) Dalam hal terjadi kondisi kemacetan Lalu Lintas yang
tidak memungkinkan gerak Kendaraan, fungsi marka
kotak kuning harus diutamakan daripada Alat Pemberi
Isyarat Lalu Lintas yang bersifat perintah atau larangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rambu Lalu Lintas,
Marka Jalan, dan/atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang
sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Paragraf 3
Pengutamaan Petugas
Pasal 104
(1) Dalam keadaan tertentu untuk Ketertiban dan
Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, petugas
Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melakukan
tindakan:
a. memberhentikan arus Lalu Lintas dan/atau
Pengguna Jalan;
b. memerintahkan Pengguna Jalan untuk jalan terus;
c. mempercepat arus Lalu Lintas;
d. memperlambat arus Lalu Lintas; dan/atau
e. mengalihkan arah arus Lalu Lintas.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diutamakan daripada perintah yang diberikan oleh Alat
Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas,
dan/atau Marka Jalan.
- 59 -
f. peringatan . . .
(3) Pengguna Jalan wajib mematuhi perintah yang diberikan
oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam
peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bagian Keempat
Tata Cara Berlalu Lintas
Paragraf 1
Ketertiban dan Keselamatan
Pasal 105
Setiap orang yang menggunakan Jalan wajib:
a. berperilaku tertib; dan/atau
b. mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan
Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, atau yang dapat menimbulkan kerusakan Jalan.
Pasal 106
(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di
Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar
dan penuh konsentrasi.
(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di
Jalan wajib mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki
dan pesepeda.
(3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di
Jalan wajib mematuhi ketentuan tentang persyaratan
teknis dan laik jalan.
(4) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di
Jalan wajib mematuhi ketentuan:
a. rambu perintah atau rambu larangan;
b. Marka Jalan;
c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;
d. gerakan Lalu Lintas;
e. berhenti dan Parkir;
- 60 -
(2) Pengemudi . . .
f. peringatan dengan bunyi dan sinar;
g. kecepatan maksimal atau minimal; dan/atau
h. tata cara penggandengan dan penempelan dengan
Kendaraan lain.
(5) Pada saat diadakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor di
Jalan setiap orang yang mengemudikan Kendaraan
Bermotor wajib menunjukkan:
a. Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor atau Surat
Tanda Coba Kendaraan Bermotor;
b. Surat Izin Mengemudi;
c. bukti lulus uji berkala; dan/atau
d. tanda bukti lain yang sah.
(6) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor
beroda empat atau lebih di Jalan dan penumpang yang
duduk di sampingnya wajib mengenakan sabuk
keselamatan.
(7) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor
beroda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan
rumah-rumah di Jalan dan penumpang yang duduk di
sampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan dan
mengenakan helm yang memenuhi standar nasional
Indonesia.
(8) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor dan
Penumpang Sepeda Motor wajib mengenakan helm yang
memenuhi standar nasional Indonesia.
(9) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tanpa
kereta samping dilarang membawa Penumpang lebih dari
1 (satu) orang.
Paragraf 2
Penggunaan Lampu Utama
Pasal 107
(1) Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib menyalakan
lampu utama Kendaraan Bermotor yang digunakan di
Jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu.
- 61 -
(3) Jika . . .
(2) Pengemudi Sepeda Motor selain mematuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan
lampu utama pada siang hari.
Paragraf 3
Jalur atau Lajur Lalu Lintas
Pasal 108
(1) Dalam berlalu lintas Pengguna Jalan harus
menggunakan jalur Jalan sebelah kiri.
(2) Penggunaan jalur Jalan sebelah kanan hanya dapat
dilakukan jika:
a. Pengemudi bermaksud akan melewati Kendaraan di
depannya; atau
b. diperintahkan oleh petugas Kepolisian Negara
Republik Indonesia untuk digunakan sementara
sebagai jalur kiri.
(3) Sepeda Motor, Kendaraan Bermotor yang kecepatannya
lebih rendah, mobil barang, dan Kendaraan Tidak
Bermotor berada pada lajur kiri Jalan.
(4) Penggunaan lajur sebelah kanan hanya diperuntukkan
bagi Kendaraan dengan kecepatan lebih tinggi, akan
membelok kanan, mengubah arah, atau mendahului
Kendaraan lain.
Pasal 109
(1) Pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan melewati
Kendaraan lain harus menggunakan lajur atau jalur
Jalan sebelah kanan dari Kendaraan yang akan dilewati,
mempunyai jarak pandang yang bebas, dan tersedia
ruang yang cukup.
(2) Dalam keadaan tertentu, Pengemudi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan lajur Jalan
sebelah kiri dengan tetap memperhatikan Keamanan dan
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
- 62 -
Pasal 113 . . .
(3) Jika Kendaraan yang akan dilewati telah memberi isyarat
akan menggunakan lajur atau jalur jalan sebelah kanan,
Pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
melewati Kendaraan tersebut.
Pasal 110
(1) Pengemudi yang berpapasan dengan Kendaraan lain dari
arah berlawanan pada jalan dua arah yang tidak
dipisahkan secara jelas wajib memberikan ruang gerak
yang cukup di sebelah kanan Kendaraan.
(2) Pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika
terhalang oleh suatu rintangan atau Pengguna Jalan lain
di depannya wajib mendahulukan Kendaraan yang
datang dari arah berlawanan.
Pasal 111
Pada jalan yang menanjak atau menurun yang tidak
memungkinkan bagi Kendaraan untuk saling berpapasan,
Pengemudi Kendaraan yang arahnya menurun wajib memberi
kesempatan jalan kepada Kendaraan yang mendaki.
Paragraf 4
Belokan atau Simpangan
Pasal 112
(1) Pengemudi Kendaraan yang akan berbelok atau berbalik
arah wajib mengamati situasi Lalu Lintas di depan, di
samping, dan di belakang Kendaraan serta memberikan
isyarat dengan lampu penunjuk arah atau isyarat
tangan.
(2) Pengemudi Kendaraan yang akan berpindah lajur atau
bergerak ke samping wajib mengamati situasi Lalu Lintas
di depan, di samping, dan di belakang Kendaraan serta
memberikan isyarat.
(3) Pada persimpangan Jalan yang dilengkapi Alat Pemberi
Isyarat Lalu Lintas, Pengemudi Kendaraan dilarang
langsung berbelok kiri, kecuali ditentukan lain oleh
Rambu Lalu Lintas atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas.
- 63 -
Paragraf 5 . . .
Pasal 113
(1) Pada persimpangan sebidang yang tidak dikendalikan
dengan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Pengemudi
wajib memberikan hak utama kepada:
a. Kendaraan yang datang dari arah depan dan/atau
dari arah cabang persimpangan yang lain jika hal itu
dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas atau Marka
Jalan;
b. Kendaraan dari Jalan utama jika Pengemudi tersebut
datang dari cabang persimpangan yang lebih kecil
atau dari pekarangan yang berbatasan dengan Jalan;
c. Kendaraan yang datang dari arah cabang
persimpangan sebelah kiri jika cabang persimpangan
4 (empat) atau lebih dan sama besar;
d. Kendaraan yang datang dari arah cabang sebelah kiri
di persimpangan 3 (tiga) yang tidak tegak lurus; atau
e. Kendaraan yang datang dari arah cabang
persimpangan yang lurus pada persimpangan 3 (tiga)
tegak lurus.
(2) Jika persimpangan dilengkapi dengan alat pengendali
Lalu Lintas yang berbentuk bundaran, Pengemudi harus
memberikan hak utama kepada Kendaraan lain yang
datang dari arah kanan.
Pasal 114
Pada perlintasan sebidang antara jalur kereta api dan Jalan,
Pengemudi Kendaraan wajib:
a. berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta
api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain;
b. mendahulukan kereta api; dan
c. memberikan hak utama kepada Kendaraan yang lebih
dahulu melintasi rel.
- 64 -
Paragraf 6 . . .
Paragraf 5
Kecepatan
Pasal 115
Pengemudi Kendaraan Bermotor di Jalan dilarang:
a. mengemudikan Kendaraan melebihi batas kecepatan
paling tinggi yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21; dan/atau
b. berbalapan dengan Kendaran Bermotor lain.
Pasal 116
(1) Pengemudi harus memperlambat kendaraannya sesuai
dengan Rambu Lalu Lintas.
(2) Selain sesuai dengan Rambu Lalu Lintas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Pengemudi harus memperlambat
kendaraannya jika:
a. akan melewati Kendaraan Bermotor Umum yang
sedang menurunkan dan menaikkan Penumpang;
b. akan melewati Kendaraan Tidak Bermotor yang
ditarik oleh hewan, hewan yang ditunggangi, atau
hewan yang digiring;
c. cuaca hujan dan/atau genangan air;
d. memasuki pusat kegiatan masyarakat yang belum
dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas;
e. mendekati persimpangan atau perlintasan sebidang
kereta api; dan/atau
f. melihat dan mengetahui ada Pejalan Kaki yang akan
menyeberang.
Pasal 117
Pengemudi yang akan memperlambat kendaraannya harus
mengamati situasi Lalu Lintas di samping dan di belakang
Kendaraan dengan cara yang tidak membahayakan
Kendaraan lain.
- 65 -
(2) Ketentuan . . .
Paragraf 6
Berhenti
Pasal 118
Selain Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek, setiap
Kendaraan Bermotor dapat berhenti di setiap Jalan, kecuali:
a. terdapat rambu larangan berhenti dan/atau Marka Jalan
yang bergaris utuh;
b. pada tempat tertentu yang dapat membahayakan
keamanan, keselamatan serta mengganggu Ketertiban dan
Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau
c. di jalan tol.
Pasal 119
(1) Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum atau mobil bus
sekolah yang sedang berhenti untuk menurunkan
dan/atau menaikkan Penumpang wajib memberi isyarat
tanda berhenti.
(2) Pengemudi Kendaraan yang berada di belakang
Kendaraan Bermotor Umum atau mobil bus sekolah yang
sedang berhenti sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib menghentikan kendaraannya sementara.
Paragraf 7
Parkir
Pasal 120
Parkir Kendaraan di Jalan dilakukan secara sejajar atau
membentuk sudut menurut arah Lalu Lintas.
Pasal 121
(1) Setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib memasang
segitiga pengaman, lampu isyarat peringatan bahaya,
atau isyarat lain pada saat berhenti atau Parkir dalam
keadaan darurat di Jalan.
- 66 -
b. memindahkan . . .
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku untuk Pengemudi Sepeda Motor tanpa kereta
samping.
Paragraf 8
Kendaraan Tidak Bermotor
Pasal 122
(1) Pengendara Kendaraan Tidak Bermotor dilarang:
a. dengan sengaja membiarkan kendaraannya ditarik
oleh Kendaraan Bermotor dengan kecepatan yang
dapat membahayakan keselamatan;
b. mengangkut atau menarik benda yang dapat
merintangi atau membahayakan Pengguna Jalan lain;
dan/atau
c. menggunakan jalur jalan Kendaraan Bermotor jika
telah disediakan jalur jalan khusus bagi Kendaraan
Tidak Bermotor.
(2) Pesepeda dilarang membawa Penumpang, kecuali jika
sepeda tersebut telah dilengkapi dengan tempat
Penumpang.
(3) Pengendara gerobak atau kereta dorong yang berjalan
beriringan harus memberikan ruang yang cukup bagi
Kendaraan lain untuk mendahului.
Pasal 123
Pesepeda tunarungu harus menggunakan tanda pengenal
yang ditempatkan pada bagian depan dan belakang
sepedanya.
Paragraf 9
Tata Cara Berlalu Lintas bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum
Pasal 124
(1) Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum untuk angkutan
orang dalam trayek wajib:
a. mengangkut Penumpang yang membayar sesuai
dengan tarif yang telah ditetapkan;
- 67 -
Bagian Kelima . . .
b. memindahkan penumpang dalam perjalanan ke
Kendaraan lain yang sejenis dalam trayek yang sama
tanpa dipungut biaya tambahan jika Kendaraan
mogok, rusak, kecelakaan, atau atas perintah
petugas;
c. menggunakan lajur Jalan yang telah ditentukan atau
menggunakan lajur paling kiri, kecuali saat akan
mendahului atau mengubah arah;
d. memberhentikan kendaraan selama menaikkan
dan/atau menurunkan Penumpang;
e. menutup pintu selama Kendaraan berjalan; dan
f. mematuhi batas kecepatan paling tinggi untuk
angkutan umum.
(2) Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum untuk angkutan
orang dalam trayek dengan tarif ekonomi wajib
mengangkut anak sekolah.
Pasal 125
Pengemudi Kendaraan Bermotor angkutan barang wajib
menggunakan jaringan jalan sesuai dengan kelas jalan yang
ditentukan.
Pasal 126
Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang
dilarang:
a. memberhentikan Kendaraan selain di tempat yang telah
ditentukan;
b. mengetem selain di tempat yang telah ditentukan;
c. menurunkan Penumpang selain di tempat pemberhentian
dan/atau di tempat tujuan tanpa alasan yang patut dan
mendesak; dan/atau
d. melewati jaringan jalan selain yang ditentukan dalam izin
trayek.
- 68 -
(2) Pejabat . . .
Bagian Kelima
Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas
Paragraf 1
Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas yang Diperbolehkan
Pasal 127
(1) Penggunaan jalan untuk penyelenggaraan kegiatan di
luar fungsinya dapat dilakukan pada jalan nasional, jalan
provinsi, jalan kabupaten/kota, dan jalan desa.
(2) Penggunaan jalan nasional dan jalan provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diizinkan
untuk kepentingan umum yang bersifat nasional.
(3) Penggunaan jalan kabupaten/kota dan jalan desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diizinkan
untuk kepentingan umum yang bersifat nasional, daerah,
dan/atau kepentingan pribadi.
Paragraf 2
Tata Cara Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas
Pasal 128
(1) Penggunaan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
127 ayat (1) yang mengakibatkan penutupan Jalan dapat
diizinkan jika ada jalan alternatif.
(2) Pengalihan arus Lalu Lintas ke jalan alternatif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan
dengan Rambu Lalu Lintas sementara.
(3) Izin penggunaan Jalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 127 ayat (2) dan ayat (3) diberikan oleh Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Paragraf 3
Tanggung jawab
Pasal 129
(1) Pengguna Jalan di luar fungsi Jalan bertanggung jawab
atas semua akibat yang ditimbulkan.
- 69 -
(3) Pejalan . . .
(2) Pejabat yang memberikan izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 128 ayat (3) bertanggung jawab
menempatkan petugas pada ruas Jalan untuk menjaga
Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 130
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Jalan selain
untuk kegiatan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 127, Pasal 128, dan Pasal 129 diatur dengan peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bagian Keenam
Hak dan Kewajiban Pejalan Kaki dalam Berlalu Lintas
Pasal 131
(1) Pejalan Kaki berhak atas ketersediaan fasilitas
pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan,
dan fasilitas lain.
(2) Pejalan Kaki berhak mendapatkan prioritas pada saat
menyeberang Jalan di tempat penyeberangan.
(3) Dalam hal belum tersedia fasilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pejalan Kaki berhak
menyeberang di tempat yang dipilih dengan
memperhatikan keselamatan dirinya.
Pasal 132
(1) Pejalan Kaki wajib:
a. menggunakan bagian Jalan yang diperuntukkan bagi
Pejalan Kaki atau Jalan yang paling tepi; atau
b. menyeberang di tempat yang telah ditentukan.
(2) Dalam hal tidak terdapat tempat penyeberangan yang
ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
Pejalan Kaki wajib memperhatikan Keselamatan dan
Kelancaran Lalu Lintas.
- 70 -
(4) Manajemen . . .
(3) Pejalan Kaki penyandang cacat harus mengenakan tanda
khusus yang jelas dan mudah dikenali Pengguna Jalan
lain.
Bagian Ketujuh
Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas
Pasal 133
(1) Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penggunaan Ruang Lalu Lintas dan mengendalikan
pergerakan Lalu Lintas, diselenggarakan manajemen
kebutuhan Lalu Lintas berdasarkan kriteria:
a. perbandingan volume Lalu Lintas Kendaraan
Bermotor dengan kapasitas Jalan;
b. ketersediaan jaringan dan pelayanan angkutan
umum; dan
c. kualitas lingkungan.
(2) Manajemen kebutuhan Lalu Lintas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
a. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan perseorangan
pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan
Jalan tertentu;
b. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan barang pada
koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan
tertentu;
c. pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor pada koridor
atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan
tertentu;
d. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan Bermotor Umum
sesuai dengan klasifikasi fungsi Jalan;
e. pembatasan ruang Parkir pada kawasan tertentu
dengan batasan ruang Parkir maksimal; dan/atau
f. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan Tidak Bermotor
Umum pada koridor atau kawasan tertentu pada
waktu dan Jalan tertentu.
(3) Pembatasan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a dan huruf b dapat dilakukan dengan
pengenaan retribusi pengendalian Lalu Lintas yang
diperuntukkan bagi peningkatan kinerja Lalu Lintas dan
peningkatan pelayanan angkutan umum sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
- 71 -
(2) Petugas . . .
(4) Manajemen kebutuhan Lalu Lintas ditetapkan dan
dievaluasi secara berkala oleh Menteri yang
bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pemerintah provinsi,
dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan
lingkup kewenangannya dengan melibatkan instansi
terkait.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai manajemen
kebutuhan Lalu Lintas diatur dengan peraturan
pemerintah.
Bagian Kedelapan
Hak Utama Pengguna Jalan untuk Kelancaran
Paragraf 1
Pengguna Jalan yang Memperoleh Hak Utama
Pasal 134
Pengguna Jalan yang memperoleh hak utama untuk
didahulukan sesuai dengan urutan berikut:
a. Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang
melaksanakan tugas;
b. ambulans yang mengangkut orang sakit;
c. Kendaraan untuk memberikan pertolongan pada
Kecelakaan Lalu Lintas;
d. Kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia;
e. Kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta
lembaga internasional yang menjadi tamu negara;
f. iring-iringan pengantar jenazah; dan
g. konvoi dan/atau Kendaraan untuk kepentingan tertentu
menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Paragraf 2
Tata Cara Pengaturan Kelancaran
Pasal 135
(1) Kendaraan yang mendapat hak utama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 134 harus dikawal oleh petugas
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau
menggunakan isyarat lampu merah atau biru dan bunyi
sirene.
- 72 -
(2) Angkutan . . .
(2) Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia
melakukan pengamanan jika mengetahui adanya
Pengguna Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas dan Rambu Lalu Lintas
tidak berlaku bagi Kendaraan yang mendapatkan hak
utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134.
Bagian Kesembilan
Sanksi Administratif
Pasal 136
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1), Pasal 100 ayat (1),
dan Pasal 128 dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara pelayanan umum;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. denda administratif;
e. pembatalan izin; dan/atau
f. pencabutan izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan
pemerintah.
BAB X
ANGKUTAN
Bagian Kesatu
Angkutan Orang dan Barang
Pasal 137
(1) Angkutan orang dan/atau barang dapat menggunakan
Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.
- 73 -
(2) Pemerintah . . .
(2) Angkutan orang yang menggunakan Kendaraan Bermotor
berupa Sepeda Motor, Mobil penumpang, atau bus.
(3) Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor wajib
menggunakan mobil barang.
(4) Mobil barang dilarang digunakan untuk angkutan orang,
kecuali:
a. rasio Kendaraan Bermotor untuk angkutan orang,
kondisi geografis, dan prasarana jalan di
provinsi/kabupaten/kota belum memadai;
b. untuk pengerahan atau pelatihan Tentara Nasional
Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia; atau
c. kepentingan lain berdasarkan pertimbangan
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau
Pemerintah Daerah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai mobil barang yang
digunakan untuk angkutan orang sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dengan peraturan
pemerintah.
Bagian Kedua
Kewajiban Menyediakan Angkutan Umum
Pasal 138
(1) Angkutan umum diselenggarakan dalam upaya
memenuhi kebutuhan angkutan yang selamat, aman,
nyaman, dan terjangkau.
(2) Pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan
angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Angkutan umum orang dan/atau barang hanya
dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum.
Pasal 139
(1) Pemerintah wajib menjamin tersedianya angkutan umum
untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antarkota
antarprovinsi serta lintas batas negara.
- 74 -
(2) Standar . . .
(2) Pemerintah Daerah provinsi wajib menjamin tersedianya
angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau
barang antarkota dalam provinsi.
(3) Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib menjamin
tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang
dan/atau barang dalam wilayah kabupaten/kota.
(4) Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh
badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah,
dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum
Paragraf 1
Umum
Pasal 140
Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor
Umum terdiri atas:
a. angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum
dalam trayek; dan
b. angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak
dalam trayek.
Paragraf 2
Standar Pelayanan Angkutan Orang
Pasal 141
(1) Perusahaan Angkutan Umum wajib memenuhi standar
pelayanan minimal yang meliputi:
a. keamanan;
b. keselamatan;
c. kenyamanan;
d. keterjangkauan;
e. kesetaraan; dan
f. keteraturan.
- 75 -
c. kemampuan . . .
(2) Standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan berdasarkan jenis pelayanan yang
diberikan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan
minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di
bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan.
Paragraf 3
Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam Trayek
Pasal 142
Jenis pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor
Umum dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140
huruf a terdiri atas:
a. angkutan lintas batas negara;
b. angkutan antarkota antarprovinsi;
c. angkutan antarkota dalam provinsi;
d. angkutan perkotaan; atau
e. angkutan perdesaan.
Pasal 143
Kriteria pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan
Bermotor Umum dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 140 huruf a harus:
a. memiliki rute tetap dan teratur;
b. terjadwal, berawal, berakhir, dan menaikkan atau
menurunkan penumpang di Terminal untuk angkutan
antarkota dan lintas batas negara; dan
c. menaikkan dan menurunkan penumpang pada tempat
yang ditentukan untuk angkutan perkotaan dan
perdesaan.
Pasal 144
Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum
disusun berdasarkan:
a. tata ruang wilayah;
b. tingkat permintaan jasa angkutan;
- 76 -
Pasal 147 . . .
c. kemampuan penyediaan jasa angkutan;
d. ketersediaan jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
e. kesesuaian dengan kelas jalan;
f. keterpaduan intramoda angkutan; dan
g. keterpaduan antarmoda angkutan.
Pasal 145
(1) Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor
Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 disusun
dalam bentuk rencana umum jaringan trayek.
(2) Penyusunan rencana umum jaringan trayek sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi
dengan instansi terkait.
(3) Rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. jaringan trayek lintas batas negara;
b. jaringan trayek antarkota antarprovinsi;
c. jaringan trayek antarkota dalam provinsi;
d. jaringan trayek perkotaan; dan
e. jaringan trayek perdesaan.
(4) Rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikaji ulang secara berkala paling lama 5
(lima) tahun.
Pasal 146
(1) Jaringan trayek perkotaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 145 ayat (3) huruf d disusun berdasarkan kawasan
perkotaan.
(2) Kawasan perkotaan untuk pelayanan angkutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh:
a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana
dan Prasana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk
kawasan perkotaan yang melampaui batas wilayah
provinsi;
b. gubernur untuk kawasan perkotaan yang melampaui
batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi;
atau
c. bupati/walikota untuk kawasan perkotaan yang
berada dalam wilayah kabupaten/kota.
- 77 -
c. Menteri . . .
Pasal 147
(1) Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor
Umum lintas batas negara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 145 ayat (3) huruf a ditetapkan oleh Menteri yang
bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan perjanjian
antarnegara.
(2) Perjanjian antarnegara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibuat berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 148
Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (1) dan ayat (3)
huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan oleh:
a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan
Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk jaringan
trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum
antarkota antarprovinsi dan perkotaan yang melampaui
batas 1 (satu) provinsi;
b. gubernur untuk jaringan trayek dan kebutuhan
Kendaraan Bermotor Umum antarkota dalam provinsi
dan perkotaan yang melampaui batas 1 (satu)
kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapat
persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di
bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan; atau
c. bupati/walikota untuk jaringan trayek dan kebutuhan
Kendaraan Bermotor Umum perkotaan dalam 1 (satu)
wilayah kabupaten/kota setelah mendapat persetujuan
dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan
Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 149
Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum
perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3)
huruf e ditetapkan oleh:
a. bupati untuk kawasan perdesaan yang menghubungkan 1
(satu) daerah kabupaten;
b. gubernur untuk kawasan perdesaan yang melampaui 1
(satu) daerah kabupaten dalam 1 (satu) daerah provinsi;
atau
- 78 -
b. bupati . . .
c. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan
Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk
kawasan perdesaan yang melampaui satu daerah provinsi.
Pasal 150
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan orang dengan
Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek diatur dengan
peraturan pemerintah.
Paragraf 4
Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek
Pasal 151
Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor
Umum tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 140 huruf b terdiri atas:
a. angkutan orang dengan menggunakan taksi;
b. angkutan orang dengan tujuan tertentu;
c. angkutan orang untuk keperluan pariwisata; dan
d. angkutan orang di kawasan tertentu.
Pasal 152
(1) Angkutan orang dengan menggunakan taksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf a harus
digunakan untuk pelayanan angkutan dari pintu ke
pintu dengan wilayah operasi dalam kawasan perkotaan.
(2) Wilayah operasi dalam kawasan perkotaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat:
a. berada dalam wilayah kota;
b. berada dalam wilayah kabupaten;
c. melampaui wilayah kota atau wilayah kabupaten
dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau
d. melampaui wilayah provinsi.
(3) Wilayah operasi dalam kawasan perkotaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan jumlah maksimal kebutuhan
taksi ditetapkan oleh:
a. walikota untuk taksi yang wilayah operasinya berada
dalam wilayah kota;
- 79 -
(2) Angkutan . . .
b. bupati untuk taksi yang wilayah operasinya berada
dalam wilayah kabupaten;
c. gubernur untuk taksi yang wilayah operasinya
melampaui wilayah kota atau wilayah kabupaten
dalam 1 (satu) wilayah provinsi; atau
d. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan
Prasarana Lalu lintas dan Angkutan Jalan untuk
taksi yang wilayah operasinya melampaui wilayah
provinsi.
Pasal 153
(1) Angkutan orang dengan tujuan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 151 huruf b dilarang menaikkan
dan/atau menurunkan Penumpang di sepanjang
perjalanan untuk keperluan lain di luar pelayanan
angkutan orang dalam trayek.
(2) Angkutan orang dengan tujuan tertentu diselenggarakan
dengan menggunakan mobil penumpang umum atau
mobil bus umum.
Pasal 154
(1) Angkutan orang untuk keperluan pariwisata
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf c harus
digunakan untuk pelayanan angkutan wisata.
(2) Penyelenggaraan angkutan orang untuk keperluan
pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
menggunakan mobil penumpang umum dan mobil bus
umum dengan tanda khusus.
(3) Angkutan orang untuk keperluan pariwisata tidak
diperbolehkan menggunakan Kendaraan Bermotor
Umum dalam trayek, kecuali di daerah yang belum
tersedia angkutan khusus untuk pariwisata.
Pasal 155
(1) Angkutan di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 151 huruf d harus dilaksanakan melalui
pelayanaan angkutan di jalan lokal dan jalan lingkungan.
- 80 -
Bagian Keempat . . .
(2) Angkutan orang di kawasan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan mobil
penumpang umum.
Pasal 156
Evaluasi wilayah operasi dan kebutuhan angkutan orang
tidak dalam trayek dilakukan sekurang-kurangnya sekali
dalam 1 (satu) tahun dan diumumkan kepada masyarakat.
Pasal 157
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan orang dengan
Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek diatur dengan
peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana
dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Paragraf 5
Angkutan Massal
Pasal 158
(1) Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan massal
berbasis Jalan untuk memenuhi kebutuhan angkutan
orang dengan Kendaraan Bermotor Umum di kawasan
perkotaan.
(2) Angkutan massal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus didukung dengan:
a. mobil bus yang berkapasitas angkut massal;
b. lajur khusus;
c. trayek angkutan umum lain yang tidak berimpitan
dengan trayek angkutan massal; dan
d. angkutan pengumpan.
Pasal 159
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan massal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 diatur dengan
peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana
dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
- 81 -
d. membongkar . . .
Bagian Keempat
Angkutan Barang dengan Kendaraan Bermotor Umum
Paragraf 1
Umum
Pasal 160
Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum terdiri
atas:
a. angkutan barang umum; dan
b. angkutan barang khusus.
Paragraf 2
Angkutan Barang Umum
Pasal 161
Pengangkutan barang umum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 160 huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. prasarana Jalan yang dilalui memenuhi ketentuan kelas
Jalan;
b. tersedia pusat distribusi logistik dan/atau tempat untuk
memuat dan membongkar barang; dan
c. menggunakan mobil barang.
Paragraf 3
Angkutan Barang Khusus dan Alat Berat
Pasal 162
(1) Kendaraan Bermotor yang mengangkut barang khusus
wajib:
a. memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan
sifat dan bentuk barang yang diangkut;
b. diberi tanda tertentu sesuai dengan barang yang
diangkut;
c. memarkir Kendaraan di tempat yang ditetapkan;
- 82 -
Bagian Kelima . . .
d. membongkar dan memuat barang di tempat yang
ditetapkan dan dengan menggunakan alat sesuai
dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut;
e. beroperasi pada waktu yang tidak mengganggu
Keamanan, Keselamatan, Kelancaran, dan Ketertiban
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
f. mendapat rekomendasi dari instansi terkait.
(2) Kendaraan Bermotor Umum yang mengangkut alat berat
dengan dimensi yang melebihi dimensi yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 harus mendapat
pengawalan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Pengemudi dan pembantu Pengemudi Kendaraan
Bermotor Umum yang mengangkut barang khusus wajib
memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan sifat dan
bentuk barang khusus yang diangkut.
Pasal 163
(1) Pemilik, agen ekspedisi muatan angkutan barang, atau
pengirim yang menyerahkan barang khusus wajib
memberitahukan kepada pengelola pergudangan
dan/atau penyelenggara angkutan barang sebelum
barang dimuat ke dalam Kendaraan Bermotor Umum.
(2) Penyelenggara angkutan barang yang melakukan
kegiatan pengangkutan barang khusus wajib
menyediakan tempat penyimpanan serta bertanggung
jawab terhadap penyusunan sistem dan prosedur
penanganan barang khusus dan/atau berbahaya selama
barang tersebut belum dimuat ke dalam Kendaraan
Bermotor Umum.
Pasal 164
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan barang dengan
Kendaraan Bermotor Umum diatur dengan peraturan Menteri
yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
- 83 -
Pasal 167 . . .
Bagian Kelima
Angkutan Multimoda
Pasal 165
(1) Angkutan umum di Jalan yang merupakan bagian
angkutan multimoda dilaksanakan oleh badan hukum
angkutan multimoda.
(2) Kegiatan angkutan umum dalam angkutan multimoda
dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dibuat antara
badan hukum angkutan Jalan dan badan hukum
angkutan multimoda dan/atau badan hukum moda lain.
(3) Pelayanan angkutan multimoda harus terpadu secara
sistem dan mendapat izin dari Pemerintah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda,
persyaratan, dan tata cara memperoleh izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan
pemerintah.
Bagian Keenam
Dokumen Angkutan Orang dan Barang
dengan Kendaraan Bermotor Umum
Pasal 166
(1) Angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum
yang melayani trayek tetap lintas batas negara, antarkota
antarprovinsi, dan antarkota dalam provinsi harus
dilengkapi dengan dokumen.
(2) Dokumen angkutan orang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. tiket Penumpang umum untuk angkutan dalam
trayek;
b. tanda pengenal bagasi; dan
c. manifes.
(3) Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum
wajib dilengkapi dengan dokumen yang meliputi:
a. surat perjanjian pengangkutan; dan
b. surat muatan barang.
- 84 -
Pasal 170 . . .
Pasal 167
(1) Perusahaan Angkutan Umum orang wajib:
a. menyerahkan tiket Penumpang;
b. menyerahkan tanda bukti pembayaran
pengangkutan untuk angkutan tidak dalam trayek;
c. menyerahkan tanda pengenal bagasi kepada
Penumpang; dan
d. menyerahkan manifes kepada Pengemudi.
(2) Tiket Penumpang harus digunakan oleh orang yang
namanya tercantum dalam tiket sesuai dengan dokumen
identitas diri yang sah.
Pasal 168
(1) Perusahaan Angkutan Umum yang mengangkut barang
wajib membuat surat muatan barang sebagai bagian
dokumen perjalanan.
(2) Perusahaan Angkutan Umum yang mengangkut barang
wajib membuat surat perjanjian pengangkutan barang.
Bagian Ketujuh
Pengawasan Muatan Barang
Pasal 169
(1) Pengemudi dan/atau Perusahaan Angkutan Umum
barang wajib mematuhi ketentuan mengenai tata cara
pemuatan, daya angkut, dimensi Kendaraan, dan kelas
jalan.
(2) Untuk mengawasi pemenuhan terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
pengawasan muatan angkutan barang.
(3) Pengawasan muatan angkutan barang dilakukan dengan
menggunakan alat penimbangan.
(4) Alat penimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
terdiri atas:
a. alat penimbangan yang dipasang secara tetap; atau
b. alat penimbangan yang dapat dipindahkan.
- 85 -
Bagian Kedelapan . . .
Pasal 170
(1) Alat penimbangan yang dipasang secara tetap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (4) huruf a
dipasang pada lokasi tertentu.
(2) Penetapan lokasi, pengoperasian, dan penutupan alat
penimbangan yang dipasang secara tetap pada Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Pemerintah.
(3) Pengoperasian dan perawatan alat penimbangan yang
dipasang secara tetap dilakukan oleh unit pelaksana
penimbangan yang ditunjuk oleh Pemerintah.
(4) Petugas alat penimbangan yang dipasang secara tetap
wajib mendata jenis barang yang diangkut, berat
angkutan, dan asal tujuan.
Pasal 171
(1) Alat penimbangan yang dapat dipindahkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 169 ayat (4) huruf b digunakan
dalam pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan
penyidikan tindak pidana pelanggaran muatan.
(2) Pengoperasian alat penimbangan untuk pemeriksaan
Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh petugas pemeriksa
Kendaraan Bermotor.
(3) Pengoperasian alat penimbangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan bersama dengan petugas
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 172
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan muatan
angkutan barang diatur dengan peraturan pemerintah.
- 86 -
(2) Perpanjangan . . .
Bagian Kedelapan
Pengusahaan Angkutan
Paragraf 1
Perizinan Angkutan
Pasal 173
(1) Perusahaan Angkutan Umum yang menyelenggarakan
angkutan orang dan/atau barang wajib memiliki:
a. izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek;
b. izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam
trayek; dan/atau
c. izin penyelenggaraan angkutan barang khusus atau
alat berat.
(2) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. pengangkutan orang sakit dengan menggunakan
ambulans; atau
b. pengangkutan jenazah.
Pasal 174
(1) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1)
berupa dokumen kontrak dan/atau kartu elektronik yang
terdiri atas surat keputusan, surat pernyataan, dan kartu
pengawasan.
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui seleksi atau pelelangan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
izin pada 1 (satu) trayek atau pada beberapa trayek
dalam satu kawasan.
Pasal 175
(1) Izin penyelenggaraan angkutan umum berlaku untuk
jangka waktu tertentu.
- 87 -
e. walikota . . .
(2) Perpanjangan izin harus melalui proses seleksi atau
pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat
(2).
Paragraf 2
Izin Penyelenggaraan Angkutan Orang dalam Trayek
Pasal 176
Izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf a
diberikan oleh:
a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan
Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk
penyelenggaraan angkutan orang yang melayani:
1. trayek lintas batas negara sesuai dengan perjanjian
antarnegara;
2. trayek antarkabupaten/kota yang melampaui wilayah
1 (satu) provinsi;
3. trayek angkutan perkotaan yang melampaui wilayah 1
(satu) provinsi; dan
4. trayek perdesaan yang melewati wilayah 1 (satu)
provinsi.
b. gubernur untuk penyelenggaraan angkutan orang yang
melayani:
1. trayek antarkota yang melampaui wilayah 1 (satu)
kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi;
2. trayek angkutan perkotaan yang melampaui wilayah 1
(satu) kabupaten/kota dalam satu provinsi; dan
3. trayek perdesaan yang melampaui wilayah 1 (satu)
kabupaten dalam satu provinsi.
c. Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk
penyelenggaraan angkutan orang yang melayani trayek
yang seluruhnya berada dalam wilayah Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta.
d. bupati untuk penyelenggaraan angkutan orang yang
melayani:
1. trayek perdesaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah
kabupaten; dan
2. trayek perkotaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah
kabupaten.
- 88 -
d. bupati . . .
e. walikota untuk penyelenggaraan angkutan orang yang
melayani trayek perkotaan yang berada dalam 1 (satu)
wilayah kota.
Pasal 177
Pemegang izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek
wajib:
a. melaksanakan ketentuan yang ditetapkan dalam izin yang
diberikan; dan
b. mengoperasikan Kendaraan Bermotor Umum sesuai
dengan standar pelayanan minimal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1).
Pasal 178
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin penyelenggaraan
angkutan orang dalam trayek diatur dengan peraturan
Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan
Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Paragraf 3
Izin Penyelenggaraan Angkutan Orang Tidak dalam Trayek
Pasal 179
(1) Izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf b
diberikan oleh:
a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan
Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk
angkutan orang yang melayani:
1. angkutan taksi yang wilayah operasinya
melampaui 1 (satu) daerah provinsi;
2. angkutan dengan tujuan tertentu; atau
3. angkutan pariwisata.
b. gubernur untuk angkutan taksi yang wilayah
operasinya melampaui lebih dari 1 (satu) daerah
kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi;
c. Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk
angkutan taksi dan angkutan kawasan tertentu yang
wilayah operasinya berada dalam wilayah Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta; dan
- 89 -
b. tarif . . .
d. bupati/walikota untuk taksi dan angkutan kawasan
tertentu yang wilayah operasinya berada dalam
wilayah kabupaten/kota.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan
persyaratan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang
bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
Paragraf 4
Izin Penyelenggaraan Angkutan Barang Khusus dan Alat Berat
Pasal 180
(1) Izin penyelenggaraan angkutan barang khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c
diberikan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang
sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
dengan rekomendasi dari instansi terkait.
(2) Izin penyelenggaraan angkutan alat berat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c diberikan oleh
Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan
Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan
persyaratan pemberian izin penyelenggaraan angkutan
barang khusus dan alat berat diatur dengan peraturan
Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan
Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Bagian Kesembilan
Tarif Angkutan
Pasal 181
(1) Tarif angkutan terdiri atas tarif Penumpang dan tarif
barang.
(2) Tarif Penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. tarif Penumpang untuk angkutan orang dalam trayek;
dan
- 90 -
(2) Tarif . . .
b. tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam
trayek.
Pasal 182
(1) Tarif Penumpang untuk angkutan orang dalam trayek
terdiri atas:
a. tarif kelas ekonomi; dan
b. tarif kelas nonekonomi.
(2) Penetapan tarif kelas ekonomi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan
Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk
angkutan orang yang melayani trayek antarkota
antarprovinsi, angkutan perkotaan, dan angkutan
perdesaan yang wilayah pelayanannya melampaui
wilayah provinsi;
b. gubernur untuk angkutan orang yang melayani
trayek antarkota dalam provinsi serta angkutan
perkotaan dan perdesaan yang melampaui batas satu
kabupaten/kota dalam satu provinsi;
c. bupati untuk angkutan orang yang melayani trayek
antarkota dalam kabupaten serta angkutan perkotaan
dan perdesaan yang wilayah pelayanannya dalam
kabupaten; dan
d. walikota untuk angkutan orang yang melayani trayek
angkutan perkotaan yang wilayah pelayanannya
dalam kota.
(3) Tarif Penumpang angkutan orang dalam trayek kelas
nonekonomi ditetapkan oleh Perusahaan Angkutan
Umum.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif penumpang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang
sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 183
(1) Tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam
trayek dengan menggunakan taksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 151 huruf a ditetapkan oleh
Perusahaan Angkutan Umum atas persetujuan
Pemerintah sesuai dengan kewenangan masing-masing
berdasarkan standar pelayanan minimal yang ditetapkan.
- 91 -
Pasal 188 . . .
(2) Tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam
trayek dengan tujuan tertentu, pariwisata, dan di
kawasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
151 huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan
berdasarkan kesepakatan antara Pengguna Jasa dan
Perusahaan Angkutan Umum.
Pasal 184
Tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
181 ayat (2) huruf b ditetapkan berdasarkan kesepakatan
antara Pengguna Jasa dan Perusahaan Angkutan Umum.
Bagian Kesepuluh
Subsidi Angkutan Penumpang Umum
Pasal 185
(1) Angkutan penumpang umum dengan tarif kelas ekonomi
pada trayek tertentu dapat diberi subsidi oleh Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian subsidi
angkutan Penumpang umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kesebelas
Kewajiban, Hak, dan Tanggung Jawab Perusahaan Angkutan Umum
Paragraf 1
Kewajiban Perusahaan Angkutan Umum
Pasal 186
Perusahaan Angkutan Umum wajib mengangkut orang
dan/atau barang setelah disepakati perjanjian angkutan
dan/atau dilakukan pembayaran biaya angkutan oleh
Penumpang dan/atau pengirim barang.
Pasal 187
Perusahaan Angkutan Umum wajib mengembalikan biaya
angkutan yang telah dibayar oleh Penumpang dan/atau
pengirim barang jika terjadi pembatalan pemberangkatan.
- 92 -
(5) Ketentuan . . .
Pasal 188
Perusahaan Angkutan Umum wajib mengganti kerugian yang
diderita oleh Penumpang atau pengirim barang karena lalai
dalam melaksanakan pelayanan angkutan.
Pasal 189
Perusahaan Angkutan Umum wajib mengasuransikan
tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188.
Pasal 190
Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum dapat menurunkan
penumpang dan/atau barang yang diangkut pada tempat
pemberhentian terdekat jika Penumpang dan/atau barang
yang diangkut dapat membahayakan keamanan dan
keselamatan angkutan.
Pasal 191
Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas
kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang
dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan.
Pasal 192
(1) Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas
kerugian yang diderita oleh Penumpang yang meninggal
dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan,
kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat
dicegah atau dihindari atau karena kesalahan
Penumpang.
(2) Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami atau
bagian biaya pelayanan.
(3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimulai sejak Penumpang diangkut dan berakhir di
tempat tujuan yang disepakati.
(4) Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian
barang bawaan Penumpang, kecuali jika Penumpang
dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan
oleh kesalahan atau kelalaian pengangkut.
- 93 -
Paragraf 2 . . .
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya ganti kerugian
diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 193
(1) Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas
kerugian yang diderita oleh pengirim barang karena
barang musnah, hilang, atau rusak akibat
penyelenggaraan angkutan, kecuali terbukti bahwa
musnah, hilang, atau rusaknya barang disebabkan oleh
suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari
atau kesalahan pengirim.
(2) Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami.
(3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimulai sejak barang diangkut sampai barang diserahkan
di tempat tujuan yang disepakati.
(4) Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab
jika kerugian disebabkan oleh pencantuman keterangan
yang tidak sesuai dengan surat muatan angkutan
barang.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran ganti kerugian
diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 194
(1) Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab
atas kerugian yang diderita oleh pihak ketiga, kecuali jika
pihak ketiga dapat membuktikan bahwa kerugian
tersebut disebabkan oleh kesalahan Perusahaan
Angkutan Umum.
(2) Hak untuk mengajukan keberatan dan permintaan ganti
kerugian pihak ketiga kepada Perusahaan Angkutan
Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
terhitung mulai tanggal terjadinya kerugian.
- 94 -
(2) Ketentuan . . .
Paragraf 2
Hak Perusahaan Angkutan Umum
Pasal 195
(1) Perusahaan Angkutan Umum berhak untuk menahan
barang yang diangkut jika pengirim atau penerima tidak
memenuhi kewajiban dalam batas waktu yang ditetapkan
sesuai dengan perjanjian angkutan.
(2) Perusahaan Angkutan Umum berhak memungut biaya
tambahan atas barang yang disimpan dan tidak diambil
sesuai dengan kesepakatan.
(3) Perusahaan Angkutan Umum berhak menjual barang
yang diangkut secara lelang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan jika pengirim atau
penerima tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan
kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 196
Jika barang angkutan tidak diambil oleh pengirim atau
penerima sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati,
Perusahaan Angkutan Umum berhak memusnahkan barang
yang sifatnya berbahaya atau mengganggu dalam
penyimpanannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kedua Belas
Tanggung Jawab Penyelenggara
Pasal 197
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai
penyelenggara angkutan wajib:
a. memberikan jaminan kepada Pengguna Jasa
angkutan umum untuk mendapatkan pelayanan;
b. memberikan perlindungan kepada Perusahaan
Angkutan Umum dengan menjaga keseimbangan
antara penyediaan dan permintaan angkutan umum;
dan
c. melakukan pemantauan dan pengevaluasian
terhadap angkutan orang dan barang.
- 95 -
(2) Ketentuan . . .
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab
penyelenggara angkutan umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang
bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
Bagian Ketiga Belas
Industri Jasa Angkutan Umum
Pasal 198
(1) Jasa angkutan umum harus dikembangkan menjadi
industri jasa yang memenuhi standar pelayanan dan
mendorong persaingan yang sehat.
(2) Untuk mewujudkan standar pelayanan dan persaingan
yang sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah harus:
a. menetapkan segmentasi dan klasifikasi pasar;
b. menetapkan standar pelayanan minimal;
c. menetapkan kriteria persaingan yang sehat;
d. mendorong terciptanya pasar; dan
e. mengendalikan dan mengawasi pengembangan
industri jasa angkutan umum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan dan
persaingan yang sehat diatur dengan peraturan
pemerintah.
Bagian Keempat Belas
Sanksi Administratif
Pasal 199
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 167, Pasal 168, Pasal 173, Pasal
177, Pasal 186, Pasal 187, Pasal 189, Pasal 192, dan
Pasal 193 dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. pembekuan izin; dan/atau
d. pencabutan izin.
- 96 -
Pasal 201 . . .
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang
bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
BAB XI
KEAMANAN DAN KESELAMATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Bagian Kesatu
Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 200
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggung jawab
atas terselenggaranya kegiatan dalam mewujudkan dan
memelihara Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui kerja sama antara pembina
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan masyarakat.
(3) Untuk mewujudkan dan memelihara Keamanan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilaksanakan kegiatan:
a. penyusunan program nasional Keamanan Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan;
b. penyediaan dan pemeliharaan fasilitas dan
perlengkapan Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan;
c. pelaksanaan pendidikan, pelatihan, pembimbingan,
penyuluhan, dan penerangan berlalu lintas dalam
rangka meningkatkan kesadaran hukum dan etika
masyarakat dalam berlalu lintas;
d. pengkajian masalah Keamanan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan;
e. manajemen keamanan Lalu Lintas;
f. pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan/atau
patroli;
g. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan
Pengemudi; dan
h. penegakan hukum Lalu Lintas.
- 97 -
(2) Kendaraan . . .
Pasal 201
(1) Perusahaan Angkutan Umum wajib membuat,
melaksanakan, dan menyempurnakan sistem keamanan
dengan berpedoman pada program nasional Keamanan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Kendaraan Bermotor Umum harus dilengkapi dengan
alat pemberi informasi untuk memudahkan pendeteksian
kejadian kejahatan di Kendaraan Bermotor.
Pasal 202
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan program nasional
Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 200 dan Pasal 201 diatur dengan
peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bagian Kedua
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 203
(1) Pemerintah bertanggung jawab atas terjaminnya
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Untuk menjamin Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan
rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, meliputi:
a. penyusunan program nasional kegiatan Keselamatan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
b. penyediaan dan pemeliharaan fasilitas dan
perlengkapan Keselamatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan;
c. pengkajian masalah Keselamatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan; dan
d. manajemen Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan.
Pasal 204
(1) Perusahaan Angkutan Umum wajib membuat,
melaksanakan, dan menyempurnakan sistem manajemen
keselamatan dengan berpedoman pada rencana umum
nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
- 98 -
(5) Inspeksi . . .
(2) Kendaraan Bermotor Umum harus dilengkapi dengan
alat pemberi informasi terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas
ke Pusat Kendali Sistem Keselamatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
Pasal 205
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan rencana umum
nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (2) dan
kewajiban Perusahaan Angkutan Umum membuat,
melaksanakan, dan menyempurnakan sistem manajemen
keselamatan serta persyaratan alat pemberi informasi
Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
204 diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Ketiga
Pengawasan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 206
(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan program Keamanan
dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
meliputi:
a. audit;
b. inspeksi; dan
c. pengamatan dan pemantauan.
(2) Audit bidang Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilaksanakan oleh auditor independen yang ditentukan
oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Audit bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilaksanakan oleh auditor independen yang ditentukan
oleh pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(4) Inspeksi bidang Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilaksanakan secara periodik berdasarkan skala prioritas
oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
- 99 -
(3) Pembina . . .
(5) Inspeksi bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilaksanakan secara periodik berdasarkan skala prioritas
oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(6) Pengamatan dan pemantauan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c wajib dilaksanakan secara
berkelanjutan oleh setiap pembina Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
(7) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditindaklanjuti dengan tindakan korektif dan/atau
penegakan hukum.
Pasal 207
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan Keamanan dan
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 206 ayat (1) diatur dengan peraturan
pemerintah.
Bagian Keempat
Budaya Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 208
(1) Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertangggung
jawab membangun dan mewujudkan budaya Keamanan
dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Upaya membangun dan mewujudkan budaya Keamanan
dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pelaksanaan pendidikan berlalu lintas sejak usia dini;
b. sosialisasi dan internalisasi tata cara dan etika
berlalu lintas serta program Keamanan dan
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
c. pemberian penghargaan terhadap tindakan
Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan;
d. penciptaan lingkungan Ruang Lalu Lintas yang
mendorong pengguna jalan berperilaku tertib; dan
e. penegakan hukum secara konsisten dan
berkelanjutan.
- 100 -
Pasal 212 . . .
(3) Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menetapkan
kebijakan dan program untuk mewujudkan budaya
Keamanan dan Keselamatan berlalu lintas.
BAB XII
DAMPAK LINGKUNGAN
Bagian Kesatu
Perlindungan Kelestarian Lingkungan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 209
(1) Untuk menjamin kelestarian lingkungan, dalam setiap
kegiatan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus
dilakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran
lingkungan hidup untuk memenuhi ketentuan baku
mutu lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan dan
penanggulangan pencemaran lingkungan hidup di bidang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Pencegahan dan Penanggulangan
Dampak Lingkungan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 210
(1) Setiap Kendaraan Bermotor yang beroperasi di Jalan
wajib memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas
buang dan tingkat kebisingan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, persyaratan,
dan prosedur penanganan ambang batas emisi gas buang
dan tingkat kebisingan yang diakibatkan oleh Kendaraan
Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 211
Setiap pemilik dan/atau Pengemudi Kendaraan Bermotor dan
Perusahaan Angkutan Umum wajib mencegah terjadinya
pencemaran udara dan kebisingan.
- 101 -
(2) Perusahaan . . .
Pasal 212
Setiap pemilik dan/atau Pengemudi Kendaraan Bermotor dan
Perusahaan Angkutan Umum wajib melakukan perbaikan
terhadap kendaraannya jika terjadi kerusakan yang dapat
mengakibatkan terjadinya pencemaran udara dan kebisingan.
Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban
Paragraf 1
Kewajiban Pemerintah
Pasal 213
(1) Pemerintah wajib mengawasi kepatuhan Pengguna Jalan
untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dalam
penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah wajib:
a. merumuskan dan menyiapkan kebijakan, strategi,
dan program pembangunan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan yang ramah lingkungan;
b. membangun dan mengembangkan sarana dan
Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
ramah lingkungan;
c. melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap
Perusahaan Angkutan Umum, pemilik, dan/atau
Pengemudi Kendaraan Bermotor yang beroperasi di
jalan; dan
d. menyampaikan informasi yang benar dan akurat
tentang kelestarian lingkungan di bidang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan.
Paragraf 2
Hak dan Kewajiban Perusahaan Angkutan Umum
Pasal 214
(1) Perusahaan Angkutan Umum berhak memperoleh
kemudahan dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan yang ramah lingkungan.
- 102 -
Bagian Keempat . . .
(2) Perusahaan Angkutan Umum berhak memperoleh
informasi mengenai kelestarian lingkungan di bidang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 215
Perusahaan Angkutan Umum wajib:
a. melaksanakan program pembangunan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan yang ramah lingkungan yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah;
b. menyediakan sarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
ramah lingkungan;
c. memberi informasi yang jelas, benar, dan jujur mengenai
kondisi jasa angkutan umum;
d. memberi penjelasan mengenai penggunaan, perbaikan,
dan pemeliharaan sarana angkutan umum; dan
e. mematuhi baku mutu lingkungan hidup.
Paragraf 3
Hak dan Kewajiban Masyarakat
Pasal 216
(1) Masyarakat berhak mendapatkan Ruang Lalu Lintas
yang ramah lingkungan.
(2) Masyarakat berhak memperoleh informasi tentang
kelestarian lingkungan bidang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan.
Pasal 217
Masyarakat wajib menjaga kelestarian lingkungan bidang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
- 103 -
(2) Pemberdayaan . . .
Bagian Keempat
Sanksi Administratif
Pasal 218
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai dampak
lingkungan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 211 dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. pembekuan izin; dan/atau
d. pencabutan izin.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan kriteria
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB XIII
PENGEMBANGAN INDUSTRI DAN TEKNOLOGI SARANA
DAN PRASARANA LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 219
(1) Pengembangan industri dan teknologi sarana dan
Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
a. rancang bangun dan pemeliharaan Kendaraan
Bermotor;
b. peralatan penegakan hukum;
c. peralatan uji laik kendaraan;
d. fasilitas Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan
Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
e. peralatan registrasi dan identifikasi Kendaraan dan
Pengemudi;
f. teknologi serta informasi Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan;
g. fasilitas pendidikan dan pelatihan personel Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan; dan
h. komponen pendukung Kendaraan Bermotor.
- 104 -
f. dimensi . . .
(2) Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pengembangan riset dan rancang bangun Kendaraan
Bermotor;
b. pengembangan standardisasi Kendaraan dan/atau
komponen Kendaraan Bermotor;
c. pengalihan teknologi;
d. penggunaan sebanyak-banyaknya muatan lokal;
e. pengembangan industri bahan baku dan komponen;
f. pemberian kemudahan fasilitas pembiayaan dan
perpajakan;
g. pemberian fasilitas kerja sama dengan industri
sejenis; dan/atau
h. pemberian fasilitas kerja sama pasar pengguna di
dalam dan di luar negeri.
Bagian Kedua
Pengembangan Rancang Bangun Kendaraan Bermotor
Pasal 220
(1) Pengembangan rancang bangun Kendaraan Bermotor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (1) huruf a
dan pengembangan riset rancang bangun sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah Daerah;
c. badan hukum;
d. lembaga penelitian; dan/atau
e. perguruan tinggi.
(2) Pengembangan rancang bangun Kendaraan Bermotor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memperhatikan:
a. dimensi utama dan konstruksi Kendaraan Bermotor;
b. kesesuaian material;
c. kesesuaian motor penggerak;
d. kesesuaian daya dukung jalan;
e. bentuk fisik Kendaraan Bermotor;
- 105 -
e. pengawasan . . .
f. dimensi, konstruksi, posisi, dan jarak tempat duduk;
g. posisi lampu;
h. jumlah tempat duduk;
i. dimensi dan konstruksi bak muatan/volume tangki;
j. peruntukan Kendaraan Bermotor; dan
k. fasilitas keluar darurat.
(3) Rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus mendapatkan pengesahan dari Menteri yang
bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 221
Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 219 ayat (2) dilaksanakan dengan memanfaatkan
sumber daya nasional, menerapkan standar keamanan dan
keselamatan, serta memperhatikan kelestarian lingkungan.
Bagian Ketiga
Pengembangan Industri dan Teknologi Prasarana Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan
Pasal 222
(1) Pemerintah wajib mengembangkan industri dan teknologi
prasarana yang menjamin Keamanan, Keselamatan,
Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan.
(2) Pengembangan industri dan teknologi Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan secara terpadu
dengan dukungan semua sektor terkait.
(3) Pengembangan industri dan teknologi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi modernisasi fasilitas:
a. pengatur Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
b. penegakan hukum;
c. uji kelaikan Kendaraan;
d. Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, serta
Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
- 106 -
(2) Pengembangan . . .
e. pengawasan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
f. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan
Pengemudi;
g. Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan; dan
h. keselamatan Pengemudi dan/atau Penumpang.
(4) Metode pengembangan industri dan teknologi meliputi:
a. pemahaman teknologi;
b. pengalihan teknologi; dan
c. fasilitasi riset teknologi.
(5) Pengembangan industri dan teknologi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) harus mendapatkan pengesahan
dari instansi terkait.
Bagian Keempat
Pemberdayaan Industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 223
(1) Untuk mengembangkan industri Prasarana Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
222 ayat (2), Pemerintah mendorong pemberdayaan
industri dalam negeri.
(2) Untuk mendorong pengembangan industri dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui
pemberian fasilitas, insentif bidang tertentu, dan
menerapkan standar produk peralatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
Pasal 224
(1) Pengembangan industri Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan terdiri atas:
a. rekayasa;
b. produksi;
c. perakitan; dan/atau
d. pemeliharaan dan perbaikan.
- 107 -
Bagian Kedua . . .
(2) Pengembangan industri Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan mencakup alih teknologi yang
disesuaikan dengan kearifan lokal.
Bagian Kelima
Pengaturan Lebih Lanjut
Pasal 225
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan industri dan
teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur
dengan peraturan pemerintah.
BAB XIV
KECELAKAAN LALU LINTAS
Bagian Kesatu
Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas
Pasal 226
(1) Untuk mencegah Kecelakaan Lalu Lintas dilaksanakan
melalui:
a. partisipasi para pemangku kepentingan;
b. pemberdayaan masyarakat;
c. penegakan hukum; dan
d. kemitraan global.
(2) Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pola
penahapan yang meliputi program jangka pendek, jangka
menengah, dan jangka panjang.
(3) Penyusunan program pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas
dilakukan oleh forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di
bawah koordinasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
- 108 -
(4) Kecelakaan . . .
Bagian Kedua
Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas
Paragraf 1
Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas
Pasal 227
Dalam hal terjadi Kecelakaan Lalu Lintas, petugas Kepolisian
Negara Republik Indonesia wajib melakukan penanganan
Kecelakaan Lalu Lintas dengan cara:
a. mendatangi tempat kejadian dengan segera;
b. menolong korban;
c. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian perkara;
d. mengolah tempat kejadian perkara;
e. mengatur kelancaran arus Lalu Lintas;
f. mengamankan barang bukti; dan
g. melakukan penyidikan perkara.
Pasal 228
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan
Kecelakaan Lalu Lintas diatur dengan peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Paragraf 2
Penggolongan dan Penanganan Perkara Kecelakaan Lalu Lintas
Pasal 229
(1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas:
a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan;
b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau
c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.
(2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang
mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
(3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b merupakan kecelakaan yang
mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan
dan/atau barang.
- 109 -
b. melaporkan . . .
(4) Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang
mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.
(5) Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan,
ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan
dan/atau lingkungan.
Pasal 230
Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara
peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Paragraf 3
Pertolongan dan Perawatan Korban
Pasal 231
(1) Pengemudi Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan
Lalu Lintas, wajib:
a. menghentikan Kendaraan yang dikemudikannya;
b. memberikan pertolongan kepada korban;
c. melaporkan kecelakaan kepada Kepolisian Negara
Republik Indonesia terdekat; dan
d. memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian
kecelakaan.
(2) Pengemudi Kendaraan Bermotor, yang karena keadaan
memaksa tidak dapat melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf
b, segera melaporkan diri kepada Kepolisian Negara
Republik Indonesia terdekat.
Pasal 232
Setiap orang yang mendengar, melihat, dan/atau mengetahui
terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas wajib:
a. memberikan pertolongan kepada korban Kecelakaan Lalu
Lintas;
- 110 -
(3) Ketentuan . . .
b. melaporkan kecelakaan tersebut kepada Kepolisian Negara
Republik Indonesia; dan/atau
c. memberikan keterangan kepada Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Paragraf 4
Pendataan Kecelakaan Lalu Lintas
Pasal 233
(1) Setiap kecelakaan wajib dicatat dalam formulir data
Kecelakaan Lalu Lintas.
(2) Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan bagian dari data forensik.
(3) Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilengkapi dengan data yang berasal
dari rumah sakit.
(4) Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikelola oleh Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan dapat dimanfaatkan oleh pembina Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
Bagian Ketiga
Kewajiban dan Tanggung Jawab
Paragraf 1
Kewajiban dan Tanggung Jawab Pengemudi,
Pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan
Pasal 234
(1) Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau
Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas
kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/atau pemilik
barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian
Pengemudi.
(2) Setiap Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor,
dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung
jawab atas kerusakan jalan dan/atau perlengkapan jalan
karena kelalaian atau kesalahan Pengemudi.
- 111 -
(2) Perusahaan . . .
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) tidak berlaku jika:
a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan
atau di luar kemampuan Pengemudi;
b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak
ketiga; dan/atau
c. disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun
telah diambil tindakan pencegahan.
Pasal 235
(1) Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu
Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1)
huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan
Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli
waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya
pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan
perkara pidana.
(2) Jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan
korban akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf b dan huruf c,
pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan
Umum wajib memberikan bantuan kepada korban
berupa biaya pengobatan dengan tidak menggugurkan
tuntutan perkara pidana.
Pasal 236
(1) Pihak yang menyebabkan terjadinya Kecelakaan Lalu
Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 wajib
mengganti kerugian yang besarannya ditentukan
berdasarkan putusan pengadilan.
(2) Kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pada Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2) dapat dilakukan di
luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara
para pihak yang terlibat.
Pasal 237
(1) Perusahaan Angkutan Umum wajib mengikuti program
asuransi kecelakaan sebagai wujud tanggung jawabnya
atas jaminan asuransi bagi korban kecelakaan.
- 112 -
Pasal 241 . . .
(2) Perusahaan Angkutan Umum wajib mengasuransikan
orang yang dipekerjakan sebagai awak kendaraan.
Paragraf 2
Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah
Pasal 238
(1) Pemerintah menyediakan dan/atau memperbaiki
pengaturan, sarana, dan Prasarana Lalu Lintas yang
menjadi penyebab kecelakaan.
(2) Pemerintah menyediakan alokasi dana untuk pencegahan
dan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas.
Pasal 239
(1) Pemerintah mengembangkan program asuransi
Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Pemerintah membentuk perusahaan asuransi Kecelakaan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Keempat
Hak Korban
Pasal 240
Korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak mendapatkan:
a. pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung
jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas dan/atau
Pemerintah;
b. ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas
terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas; dan
c. santunan Kecelakaan Lalu Lintas dari perusahaan
asuransi.
- 113 -
Bagian Kedua . . .
Pasal 241
Setiap korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak memperoleh
pengutamaan pertolongan pertama dan perawatan pada
rumah sakit terdekat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB XV
PERLAKUAN KHUSUS BAGI PENYANDANG CACAT,
MANUSIA USIA LANJUT, ANAK-ANAK, WANITA HAMIL, DAN ORANG SAKIT
Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Perlakuan Khusus
Pasal 242
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perusahaan
Angkutan Umum wajib memberikan perlakuan khusus di
bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada
penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak,
wanita hamil, dan orang sakit.
(2) Perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. aksesibilitas;
b. prioritas pelayanan; dan
c. fasilitas pelayanan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian perlakuan
khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anakanak,
wanita hamil, dan orang sakit diatur dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 243
Masyarakat secara kelompok dapat mengajukan gugatan
kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mengenai
pemenuhan perlakuan khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 242 sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
- 114 -
(3) Sistem . . .
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 244
(1) Perusahaan Angkutan Umum yang tidak memenuhi
kewajiban menyediakan sarana dan prasarana pelayanan
kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anakanak,
wanita hamil, dan orang sakit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 242 ayat (1) dapat dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. pembekuan izin; dan/atau
d. pencabutan izin.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB XVI
SISTEM INFORMASI DAN KOMUNIKASI
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Sistem Informasi dan Komunikasi
Pasal 245
(1) Untuk mendukung Keamanan, Keselamatan, Ketertiban,
dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
diselenggarakan sistem informasi dan komunikasi yang
terpadu.
(2) Penyelenggaraan Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan dilaksanakan oleh
Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
- 115 -
(3) Pusat . . .
(3) Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan untuk kegiatan perencanaan, pengaturan,
pengendalian, dan pengawasan serta operasional Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan yang meliputi:
a. bidang prasarana Jalan;
b. bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan; dan
c. bidang registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor
dan Pengemudi, penegakan hukum, operasional
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta
pendidikan berlalu lintas.
Pasal 246
(1) Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245
ayat (2) merupakan subsistem dalam Sistem Informasi
dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan terpadu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikendalikan oleh pusat kendali yang
mengintegrasikan data, informasi, dan komunikasi dari
setiap subsistem.
(3) Data, informasi, dan komunikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus dapat diakses oleh setiap pembina
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Bagian Kedua
Pengelolaan Sistem Informasi dan Komunikasi
Pasal 247
(1) Dalam mewujudkan Sistem Informasi dan Komunikasi
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 246 ayat (1) setiap pembina Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan wajib mengelola subsistem informasi dan
komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai
dengan kewenangannya.
(2) Subsistem informasi dan komunikasi yang dibangun oleh
setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
terintegrasi dalam pusat kendali Sistem Informasi dan
Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
- 116 -
d. data . . .
(3) Pusat kendali sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikelola oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bagian Ketiga
Pengembangan Sistem Informasi dan Komunikasi
Pasal 248
(1) Untuk memenuhi tugas pokok dan fungsi berbagai
pemangku kepentingan, dikembangkan Sistem Informasi
dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
meliputi sistem terstruktur, jaringan informasi, jaringan
komunikasi, dan pusat data.
(2) Sistem terstruktur, jaringan informasi, jaringan
komunikasi, dan pusat data meliputi:
a. perencanaan;
b. perumusan kebijakan;
c. pemantauan;
d. pengawasan;
e. pengendalian;
f. informasi geografi;
g. pelacakan;
h. informasi Pengguna Jalan;
i. pendeteksian arus Lalu Lintas;
j. pengenalan tanda nomor Kendaraan Bermotor;
dan/atau
k. pengidentifikasian Kendaraan Bermotor di Ruang
Lalu Lintas.
Bagian Keempat
Pusat Kendali Sistem Informasi dan Komunikasi
Pasal 249
(1) Pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan berfungsi sebagai pusat:
a. kendali;
b. koordinasi;
c. komunikasi;
- 117 -
Pasal 251 . . .
d. data dan informasi terpadu;
e. pelayanan masyarakat; dan
f. rekam jejak elektronis untuk penegakan hukum.
(2) Pengelolaan pusat kendali Sistem Informasi dan
Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk
mewujudkan pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu.
(3) Kegiatan pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sekurang-kurangnya
meliputi:
a. pelayanan kebutuhan data, informasi, dan
komunikasi tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
b. dukungan tindakan cepat terhadap pelanggaran,
kemacetan, dan kecelakaan serta kejadian lain yang
berdampak terhadap Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
c. analisis, evaluasi terhadap pelanggaran, kemacetan,
dan Kecelakaan Lalu Lintas;
d. dukungan penegakan hukum dengan alat elektronik
dan secara langsung;
e. dukungan pelayanan Surat Izin Mengemudi, Surat
Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, dan Buku Pemilik
Kendaraan Bermotor;
f. pemberian informasi hilang temu Kendaraan
Bermotor;
g. pemberian informasi kualitas baku mutu udara;
h. dukungan pengendalian Lalu Lintas dengan
pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli;
i. dukungan pengendalian pergerakan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan; dan
j. pemberian informasi tentang kondisi Jalan dan
pelayanan publik.
Pasal 250
Data dan informasi pada pusat kendali Sistem Informasi dan
Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dapat
diakses dan digunakan oleh masyarakat.
- 118 -
Pasal 254 . . .
Pasal 251
Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan dapat digunakan untuk penegakan hukum yang
meliputi:
a. penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan atau kejahatan lain;
b. tindakan penanganan kecelakaan, pelanggaran, dan
kemacetan Lalu Lintas oleh Kepolisian Negara Republik
Indonesia; dan/atau
c. pengejaran, penghadangan, penangkapan, dan
penindakan terhadap pelaku dan/atau kendaraan yang
terlibat kejahatan atau pelanggaran Lalu Lintas.
Bagian Kelima
Pengaturan Lebih Lanjut
Pasal 252
Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi dan
Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan
peraturan pemerintah.
BAB XVII
SUMBER DAYA MANUSIA
Pasal 253
(1) Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib
mengembangkan sumber daya manusia untuk
menghasilkan petugas yang profesional dan memiliki
kompetensi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Pengembangan sumber daya manusia di bidang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan melalui pendidikan dan pelatihan
oleh:
a. Pemerintah;
b. Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau
c. lembaga swasta yang terakreditasi.
- 119 -
(3) Pemerintah . . .
Pasal 254
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan
layanan dan kemudahan serta menjamin
terselenggaranya pendidikan dan pelatihan bagi tenaga
mekanik dan Pengemudi.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan
pembinaan terhadap manajemen Perusahaan Angkutan
Umum untuk meningkatkan kualitas pelayanan,
Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 255
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan sumber daya
manusia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur
dengan peraturan pemerintah.
BAB XVIII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 256
(1) Masyarakat berhak untuk berperan serta dalam
penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa:
a. pemantauan dan penjagaan Keamanan, Keselamatan,
Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan;
b. masukan kepada instansi pembina dan penyelenggara
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di tingkat pusat dan
daerah dalam penyempurnaan peraturan, pedoman,
dan standar teknis di bidang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan;
c. pendapat dan pertimbangan kepada instansi pembina
dan penyelenggara Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di
tingkat pusat dan daerah terhadap kegiatan
penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
yang menimbulkan dampak lingkungan; dan
d. dukungan terhadap penyelenggaraan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
- 120 -
Paragraf 1 . . .
(3) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
mempertimbangkan dan menindaklanjuti masukan,
pendapat, dan/atau dukungan yang disampaikan oleh
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 257
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
256 dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok,
organisasi profesi, badan usaha, atau organisasi
kemasyarakatan lain sesuai dengan prinsip keterbukaan dan
kemitraan.
Pasal 258
Masyarakat wajib berperan serta dalam pemeliharaan sarana
dan prasarana jalan, pengembangan disiplin dan etika berlalu
lintas, dan berpartisipasi dalam pemeliharaan Keamanan,
Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
BAB XIX
PENYIDIKAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Bagian Kesatu
Penyidikan
Pasal 259
(1) Penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan dilakukan oleh:
a. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus menurut Undang-Undang ini.
(2) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. Penyidik; dan
b. Penyidik Pembantu.
- 121 -
Pasal 261 . . .
Paragraf 1
Kewenangan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
Pasal 260
(1) Dalam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan
tindak pidana, Penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia selain yang diatur di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, di bidang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berwenang:
a. memberhentikan, melarang, atau menunda
pengoperasian dan menyita sementara Kendaraan
Bermotor yang patut diduga melanggar peraturan
berlalu lintas atau merupakan alat dan/atau hasil
kejahatan;
b. melakukan pemeriksaan atas kebenaran keterangan
berkaitan dengan Penyidikan tindak pidana di bidang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
c. meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik
Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan
Angkutan Umum;
d. melakukan penyitaan terhadap Surat Izin
Mengemudi, Kendaraan Bermotor, muatan, Surat
Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda
Coba Kendaraan Bermotor, dan/atau tanda lulus uji
sebagai barang bukti;
e. melakukan penindakan terhadap tindak pidana
pelanggaran atau kejahatan Lalu Lintas menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. membuat dan menandatangani berita acara
pemeriksaan;
g. menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup
bukti;
h. melakukan penahanan yang berkaitan dengan tindak
pidana kejahatan Lalu Lintas; dan/atau
i. melakukan tindakan lain menurut hukum secara
bertanggung jawab.
(2) Pelaksanaan penindakan pelanggaran dan penyidikan
tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
- 122 -
(3) Dalam . . .
Pasal 261
Penyidik Pembantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259
ayat (2) huruf b mempunyai wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 260 ayat (1), kecuali mengenai
penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (1)
huruf h yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang
dari Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Paragraf 2
Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Pasal 262
(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 259 ayat (1) huruf b berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksaan atas pelanggaran
persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan
Bermotor yang pembuktiannya memerlukan keahlian
dan peralatan khusus;
b. melakukan pemeriksaan atas pelanggaran perizinan
angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan
Bermotor Umum;
c. melakukan pemeriksaan atas pelanggaran muatan
dan/atau dimensi Kendaraan Bermotor di tempat
penimbangan yang dipasang secara tetap;
d. melarang atau menunda pengoperasian Kendaraan
Bermotor yang tidak memenuhi persyaratan teknis
dan laik jalan;
e. meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik
Kendaraan Bermotor, atau Perusahaan Angkutan
Umum atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik
jalan, pengujian Kendaraan Bermotor, dan perizinan;
dan/atau
f. melakukan penyitaan surat tanda lulus uji dan/atau
surat izin penyelenggaraan angkutan umum atas
pelanggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a,
huruf b, dan huruf c dengan membuat dan
menandatangani berita acara pemeriksaan.
(2) Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di Terminal
dan/atau tempat alat penimbangan yang dipasang secara
tetap.
- 123 -
Pasal 265 . . .
(3) Dalam hal kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan di Jalan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil
wajib berkoordinasi dengan dan harus didampingi oleh
Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Paragraf 3
Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Pasal 263
(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, selaku
koordinator dan pengawas, melaksanakan pembinaan
dan pengawasan terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil
di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Dalam melaksanakan kewenangannya Penyidik Pegawai
Negeri Sipil wajib berkoordinasi dengan Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib menyerahkan berkas perkara hasil
penyidikan pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
beserta barang bukti kepada pengadilan melalui Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4) Ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Bagian Kedua
Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Paragraf 1
Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan
Pasal 264
Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dilakukan oleh:
a. Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
- 124 -
(4) Penyidik . . .
Pasal 265
(1) Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 264 meliputi pemeriksaan:
a. Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan
Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor,
Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, atau Tanda Coba
Kendaraan Bermotor;
b. tanda bukti lulus uji bagi kendaraan wajib uji;
c. fisik Kendaraan Bermotor;
d. daya angkut dan/atau cara pengangkutan barang;
dan/atau
e. izin penyelenggaraan angkutan.
(2) Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara berkala
atau insidental sesuai dengan kebutuhan.
(3) Untuk melaksanakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), petugas Kepolisian
Negara Republik Indonesia berwenang untuk:
a. menghentikan Kendaraan Bermotor;
b. meminta keterangan kepada Pengemudi; dan/atau
c. melakukan tindakan lain menurut hukum secara
bertanggung jawab.
Pasal 266
(1) Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 265 ayat (1) dapat dilakukan
secara insidental oleh petugas Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
(2) Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 265 ayat (1) huruf b sampai
dengan huruf e dapat dilakukan secara insidental oleh
Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
(3) Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan secara
berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (2)
dalam keadaan tertentu dilakukan secara gabungan oleh
petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
- 125 -
(2) Sebagian . . .
(4) Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan
pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib didampingi oleh petugas
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Paragraf 2
Tata Cara Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 267
(1) Setiap pelanggaran di bidang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan yang diperiksa menurut acara pemeriksaan cepat
dapat dikenai pidana denda berdasarkan penetapan
pengadilan.
(2) Acara pemeriksaan cepat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilaksanakan tanpa kehadiran pelanggar.
(3) Pelanggar yang tidak dapat hadir sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat menitipkan denda kepada bank yang
ditunjuk oleh Pemerintah.
(4) Jumlah denda yang dititipkan kepada bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) sebesar denda maksimal yang
dikenakan untuk setiap pelanggaran Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
(5) Bukti penitipan uang denda wajib dilampirkan dalam
berkas bukti pelanggaran.
Pasal 268
(1) Dalam hal putusan pengadilan menetapkan pidana
denda lebih kecil daripada uang denda yang dititipkan,
sisa uang denda harus diberitahukan kepada pelanggar
untuk diambil.
(2) Sisa uang denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang tidak diambil dalam waktu 1 (satu) tahun sejak
penetapan putusan pengadilan disetorkan ke kas negara.
Pasal 269
(1) Uang denda yang ditetapkan pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 267 ayat (1) disetorkan ke kas
negara sebagai penerimaan negara bukan pajak.
- 126 -
(3) Pengumuman . . .
(2) Sebagian penerimaan negara bukan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dialokasikan sebagai insentif bagi
petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang melaksanakan
penegakan hukum di Jalan yang pelaksanaannya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Penanganan Benda Sitaan
Pasal 270
(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
berwenang melakukan penyitaan, penyimpanan, dan
penitipan benda sitaan yang diduga berhubungan dengan
tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Benda sitaan disimpan di rumah penyimpanan benda
sitaan negara.
(3) Dalam hal belum ada rumah penyimpanan benda sitaan
negara di tempat yang bersangkutan, penyimpanan
benda sitaan dapat dilakukan di kantor Kepolisian
Negara Republik Indonesia, di kantor kejaksaan negeri, di
kantor pengadilan negeri, dan dalam keadaan memaksa
di tempat penyimpanan lain, atau tetap di tempat semula
benda itu disita.
(4) Tata cara penyitaan, penyimpanan, dan penitipan benda
sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
Pasal 271
(1) Penyidik wajib mengidentifikasi dan mengumumkan
benda sitaan Kendaraan Bermotor yang belum diketahui
pemiliknya melalui media massa.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyebutkan ciri-ciri Kendaraan Bermotor, tempat
penyimpanan, dan tanggal penyitaan.
- 127 -
(4) Penyelenggara . . .
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6
(enam) bulan.
(4) Benda sitaan Kendaraan Bermotor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) setelah lewat waktu 1 (satu)
tahun dan belum diketahui pemiliknya dapat dilelang
untuk negara berdasarkan penetapan pengadilan.
Pasal 272
(1) Untuk mendukung kegiatan penindakan pelanggaran di
bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dapat digunakan
peralatan elektronik.
(2) Hasil penggunaan peralatan elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan sebagai alat
bukti di pengadilan.
BAB XX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 273
(1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan
patut memperbaiki Jalan yang rusak yang
mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan
korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan
dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6
(enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00
(dua belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta
rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00
(seratus dua puluh juta rupiah).
- 128 -
Pasal 277 . . .
(4) Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau
rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau
denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima
ratus ribu rupiah).
Pasal 274
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang
mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi
Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua
puluh empat juta rupiah).
(2) Ketentuan ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang melakukan
perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi
perlengkapan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (2).
Pasal 275
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang
mengakibatkan gangguan pada fungsi Rambu Lalu
Lintas, Marka Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas,
fasilitas Pejalan Kaki, dan alat pengaman Pengguna Jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau
denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima
puluh ribu rupiah).
(2) Setiap orang yang merusak Rambu Lalu Lintas, Marka
Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, fasilitas Pejalan
Kaki, dan alat pengaman Pengguna Jalan sehingga tidak
berfungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).
Pasal 276
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor
Umum dalam trayek tidak singgah di Terminal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
- 129 -
Pasal 281 . . .
Pasal 277
Setiap orang yang memasukkan Kendaraan Bermotor, kereta
gandengan, dan kereta tempelan ke dalam wilayah Republik
Indonesia, membuat, merakit, atau memodifikasi Kendaraan
Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe, kereta
gandengan, kereta tempelan, dan kendaraan khusus yang
dioperasikan di dalam negeri yang tidak memenuhi kewajiban
uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat
juta rupiah).
Pasal 278
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor
beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak dilengkapi
dengan perlengkapan berupa ban cadangan, segitiga
pengaman, dongkrak, pembuka roda, dan peralatan
pertolongan pertama pada kecelakaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling paling banyak
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 279
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di
Jalan yang dipasangi perlengkapan yang dapat mengganggu
keselamatan berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 58 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2
(dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima
ratus ribu rupiah).
Pasal 280
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di
Jalan yang tidak dipasangi Tanda Nomor Kendaraan Bermotor
yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau
denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
- 130 -
(2) Setiap . . .
Pasal 281
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di
Jalan yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau
denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pasal 282
Setiap Pengguna Jalan yang tidak mematuhi perintah yang
diberikan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (3) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau
denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh
ribu rupiah).
Pasal 283
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di
Jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau
dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan
gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau
denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh
ribu rupiah).
Pasal 284
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor
dengan tidak mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki atau
pesepeda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan
atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah).
Pasal 285
(1) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan
yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan
yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu
rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat
pengukur kecepatan, knalpot, dan kedalaman alur ban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto
Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling
banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu
rupiah).
- 131 -
(4) Setiap . . .
(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor
beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak memenuhi
persyaratan teknis yang meliputi kaca spion, klakson,
lampu utama, lampu mundur, lampu tanda batas
dimensi badan kendaraan, lampu gandengan, lampu
rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat
pengukur kecepatan, kedalaman alur ban, kaca depan,
spakbor, bumper, penggandengan, penempelan, atau
penghapus kaca sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106
ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (2) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling
banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 286
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor
beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak memenuhi
persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (3) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 287
(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di
Jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan
yang dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf a atau Marka
Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4)
huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2
(dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00
(lima ratus ribu rupiah).
(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di
Jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan
yang dinyatakan dengan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf c
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua)
bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima
ratus ribu rupiah).
(3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di
Jalan yang melanggar aturan gerakan lalu lintas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf d
atau tata cara berhenti dan Parkir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf e dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau
denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima
puluh ribu rupiah).
- 132 -
(3) Setiap . . .
(4) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di
Jalan yang melanggar ketentuan mengenai penggunaan
atau hak utama bagi Kendaraan Bermotor yang
menggunakan alat peringatan dengan bunyi dan sinar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pasal 106 ayat
(4) huruf f, atau Pasal 134 dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling
banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu
rupiah).
(5) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di
Jalan yang melanggar aturan batas kecepatan paling
tinggi atau paling rendah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 106 ayat (4) huruf g atau Pasal 115 huruf a
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua)
bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima
ratus ribu rupiah).
(6) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di
Jalan yang melanggar aturan tata cara penggandengan
dan penempelan dengan Kendaraan lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf h dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau
denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima
puluh ribu rupiah).
Pasal 288
(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor
di Jalan yang tidak dilengkapi dengan Surat Tanda
Nomor Kendaraan Bermotor atau Surat Tanda Coba
Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian
Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 106 ayat (5) huruf a dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling
banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di
Jalan yang tidak dapat menunjukkan Surat Izin
Mengemudi yang sah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 106 ayat (5) huruf b dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) bulan dan/atau denda
paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu
rupiah).
- 133 -
Pasal 292 . . .
(3) Setiap orang yang mengemudikan mobil penumpang
umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan
kereta tempelan yang tidak dilengkapi dengan surat
keterangan uji berkala dan tanda lulus uji berkala
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf c
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua)
bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima
ratus ribu rupiah).
Pasal 289
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor atau
Penumpang yang duduk di samping Pengemudi yang tidak
mengenakan sabuk keselamatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 106 ayat (6) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 290
Setiap orang yang mengemudikan dan menumpang
Kendaraan Bermotor selain Sepeda Motor yang tidak
dilengkapi dengan rumah-rumah dan tidak mengenakan
sabuk keselamatan dan mengenakan helm sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (7) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1(satu) bulan atau denda paling banyak
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 291
(1) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tidak
mengenakan helm standar nasional Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (8)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua
ratus lima puluh ribu rupiah).
(2) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor yang
membiarkan penumpangnya tidak mengenakan helm
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (8)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua
ratus lima puluh ribu rupiah).
- 134 -
Pasal 296 . . .
Pasal 292
Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tanpa kereta
samping yang mengangkut Penumpang lebih dari 1 (satu)
orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (9)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) bulan
atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima
puluh ribu rupiah).
Pasal 293
(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di
Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada malam hari
dan kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
107 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
(2) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan
tanpa menyalakan lampu utama pada siang hari
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 (lima
belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah).
Pasal 294
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang
akan membelok atau berbalik arah, tanpa memberikan isyarat
dengan lampu penunjuk arah atau isyarat tangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau
denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh
ribu rupiah).
Pasal 295
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang
akan berpindah lajur atau bergerak ke samping tanpa
memberikan isyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112
ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua
ratus lima puluh ribu rupiah).
- 135 -
b. tidak . . .
Pasal 296
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor pada
perlintasan antara kereta api dan Jalan yang tidak berhenti
ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah
mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 114 huruf a dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak
Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 297
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor
berbalapan di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115
huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga
juta rupiah).
Pasal 298
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang
tidak memasang segitiga pengaman, lampu isyarat peringatan
bahaya, atau isyarat lain pada saat berhenti atau Parkir
dalam keadaan darurat di Jalan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 121 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 299
Setiap orang yang mengendarai Kendaraan Tidak Bermotor
yang dengan sengaja berpegang pada Kendaraan Bermotor
untuk ditarik, menarik benda-benda yang dapat
membahayakan Pengguna Jalan lain, dan/atau menggunakan
jalur jalan kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
122 huruf a, huruf b, atau huruf c dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling
banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
Pasal 300
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan
atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima
puluh ribu rupiah), setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor
Umum yang:
a. tidak menggunakan lajur yang telah ditentukan atau tidak
menggunakan lajur paling kiri, kecuali saat akan
mendahului atau mengubah arah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 124 ayat (1) huruf c;
- 136 -
Pasal 305 . . .
b. tidak memberhentikan kendaraannya selama menaikkan
dan/atau menurunkan Penumpang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) huruf d; atau
c. tidak menutup pintu kendaraan selama Kendaraan
berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1)
huruf e.
Pasal 301
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor
angkutan barang yang tidak menggunakan jaringan jalan
sesuai dengan kelas jalan yang ditentukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 125 dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 302
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor
Umum angkutan orang yang tidak berhenti selain di tempat
yang telah ditentukan, mengetem, menurunkan penumpang
selain di tempat pemberhentian, atau melewati jaringan jalan
selain yang ditentukan dalam izin trayek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 126 dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 303
Setiap orang yang mengemudikan mobil barang untuk
mengangkut orang kecuali dengan alasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 137 ayat (4) huruf a, huruf b, dan
huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua
ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 304
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan angkutan orang
dengan tujuan tertentu yang menaikkan atau menurunkan
Penumpang lain di sepanjang perjalanan atau menggunakan
Kendaraan angkutan tidak sesuai dengan angkutan untuk
keperluan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat
(1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus
lima puluh ribu rupiah).
- 137 -
d. menyimpang . . .
Pasal 305
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang
mengangkut barang khusus yang tidak memenuhi ketentuan
tentang persyaratan keselamatan, pemberian tanda barang,
Parkir, bongkar dan muat, waktu operasi dan rekomendasi
dari instansi terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf
f dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan
atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah).
Pasal 306
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan angkutan
barang yang tidak dilengkapi surat muatan dokumen
perjalanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan
atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima
puluh ribu rupiah).
Pasal 307
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor
Angkutan Umum Barang yang tidak mematuhi ketentuan
mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi
kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan
atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah).
Pasal 308
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan
atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah), setiap orang yang mengemudikan Kendaraan
Bermotor Umum yang:
a. tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan orang
dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173
ayat (1) huruf a;
b. tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan orang
tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal
173 ayat (1) huruf b;
c. tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan barang
khusus dan alat berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
173 ayat (1) huruf c; atau
- 138 -
Pasal 311 . . .
d. menyimpang dari izin yang ditentukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 173.
Pasal 309
Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya
untuk penggantian kerugian yang diderita oleh Penumpang,
pengirim barang, atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 189 dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).
Pasal 310
(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor
yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan
Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau
barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
bulan dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah).
(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor
yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan
Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan
Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor
yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan
Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah).
(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00
(dua belas juta rupiah).
- 139 -
Pasal 313 . . .
Pasal 311
(1) Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan
Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang
membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan
kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta
rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan
korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau
barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3),
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun atau denda paling banyak Rp8.000.000,00
(delapan juta rupiah).
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan
korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling
banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
(5) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua
belas) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00
(dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 312
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang
terlibat Kecelakaan Lalu Lintas dan dengan sengaja tidak
menghentikan kendaraannya, tidak memberikan pertolongan,
atau tidak melaporkan Kecelakaan Lalu Lintas kepada
Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 231 ayat (1) huruf a, huruf b, dan
huruf c tanpa alasan yang patut dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
- 140 -
(2) Ketentuan . . .
Pasal 313
Setiap orang yang tidak mengasuransikan awak Kendaraan
dan penumpangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan
atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima
ratus ribu rupiah).
Pasal 314
Selain pidana penjara, kurungan, atau denda, pelaku tindak
pidana Lalu Lintas dapat dijatuhi pidana tambahan berupa
pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti kerugian yang
diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas.
Pasal 315
(1) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Perusahaan
Angkutan Umum, pertanggungjawaban pidana dikenakan
terhadap Perusahaan Angkutan Umum dan/atau
pengurusnya.
(2) Dalam hal tindak pidana lalu lintas dilakukan
Perusahaan Angkutan Umum, selain pidana yang
dijatuhkan terhadap pengurus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dijatuhkan pula pidana denda paling
banyak dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang
ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.
(3) Selain pidana denda, Perusahaan Angkutan Umum dapat
dijatuhi pidana tambahan berupa pembekuan sementara
atau pencabutan izin penyelenggaraan angkutan bagi
kendaraan yang digunakan.
Pasal 316
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274,
Pasal 275 ayat (1), Pasal 276, Pasal 278, Pasal 279, Pasal
280, Pasal 281, Pasal 282, Pasal 283, Pasal 284, Pasal
285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal
290, Pasal 291, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294, Pasal
295, Pasal 296, Pasal 297, Pasal 298, Pasal 299, Pasal
300, Pasal 301, Pasal 302, Pasal 303, Pasal 304, Pasal
305, Pasal 306, Pasal 307, Pasal 308, Pasal 309, dan
Pasal 313 adalah pelanggaran.
- 141 -
Pasal 322 . . .
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273,
Pasal 275 ayat (2), Pasal 277, Pasal 310, Pasal 311, dan
Pasal 312 adalah kejahatan.
Pasal 317
Dalam hal nilai tukar mata uang rupiah mengalami
penurunan, besaran nilai denda sebagaimana dimaksud
dalam Bab XX dapat ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.
BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 318
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pendidikan dan
pelatihan Pengemudi yang diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan dan pelatihan Pengemudi tetap berlangsung
sesuai dengan izin yang diberikan dengan ketentuan dalam
jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun wajib disesuaikan
dengan Undang-Undang ini.
Pasal 319
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, audit yang
sedang dilaksanakan oleh auditor Pemerintah tetap dijalankan
sampai dengan selesainya audit.
BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 320
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan
paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai
berlaku.
Pasal 321
Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dibentuk paling
lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
- 142 -
Agar . . .
Pasal 322
Pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan harus dibentuk paling lama 2 (dua)
tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
Pasal 323
Unit Pengelola Dana Preservasi Jalan harus berfungsi paling
lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
Pasal 324
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480)
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau
belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang
ini.
Pasal 325
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3480) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 326
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
- 143 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 22 Juni 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 96
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Perekonomian dan Industri,
Setio Sapto Nugroho
1) urusan . . .
P E N J E L A S A N
A T A S
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 2009
TENTANG
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
I. UMUM
Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Negara Kesatuan Republik
Indonesia telah dianugerahi sebagai negara kepulauan yang terdiri atas
beribu pulau, terletak memanjang di garis khatulistiwa, serta di antara
dua benua dan dua samudera, mempunyai posisi dan peranan yang
sangat penting dan strategis untuk mendukung pembangunan ekonomi,
pemantapan integrasi nasional guna memperkukuh ketahanan nasional,
serta menciptakan ketertiban dunia dan kehidupan berbangsa dan
bernegara dalam rangka memajukan kesejahteraan umum sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam
mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari
upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai
bagian dari sistem transportasi nasional, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan
keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan Angkutan Jalan
dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas
penyelenggaraan negara.
Dalam Undang-Undang ini pembinaan bidang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait
(stakeholders) sebagai berikut:
- 2 -
Dalam . . .
1) urusan pemerintahan di bidang prasarana Jalan, oleh kementerian
yang bertanggung jawab di bidang Jalan;
2) urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di
bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
3) urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di
bidang industri;
4) urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di
bidang teknologi; dan
5) urusan pemerintahan di bidang registrasi dan identifikasi Kendaraan
Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas
oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pembagian kewenangan pembinaan tersebut dimaksudkan agar tugas dan
tanggung jawab setiap pembina bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
terlihat lebih jelas dan transparan sehingga penyelenggaraan Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan dapat terlaksana dengan selamat, aman, tertib,
lancar, dan efisien, serta dapat dipertanggungjawabkan.
Terhadap hal-hal yang bersifat teknis operasional, yang semula dalam
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan diatur dalam peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaannya,
dalam Undang-Undang ini telah diatur secara tegas dan terperinci dengan
maksud agar ada kepastian hukum dalam pengaturannya sehingga tidak
memerlukan lagi banyak peraturan pemerintah dan peraturan
pelaksanaannya.
Penajaman formulasi mengenai asas dan tujuan dalam Undang-Undang
ini, selain untuk menciptakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain,
juga mempunyai tujuan untuk mendorong perekonomian nasional,
mewujudkan kesejahteraan rakyat, persatuan dan kesatuan bangsa, serta
mampu menjunjung tinggi martabat bangsa. Aspek keamanan juga
mendapatkan perhatian yang ditekankan dalam pengaturan Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan. Selain itu, di dalam Undang-Undang ini juga
ditekankan terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa (just
culture) melalui upaya pembinaan, pemberian bimbingan, dan pendidikan
berlalu lintas sejak usia dini serta dilaksanakan melalui program yang
berkesinambungan.
- 3 -
rekonstruksi . . .
Dalam Undang-Undang ini juga disempurnakan terminologi mengenai
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menjadi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas lalu lintas, angkutan jalan,
Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta
pengelolaannya.
Dalam rangka mengantisipasi perkembangan lingkungan strategis global
yang membutuhkan ketangguhan bangsa untuk berkompetisi dalam
persaingan global serta untuk memenuhi tuntutan paradigma baru yang
mendambakan pelayanan Pemerintah yang lebih baik, transparan, dan
akuntabel, di dalam Undang-Undang ini dirumuskan berbagai terobosan
yang visioner dan perubahan yang cukup signifikan jika dibandingkan
dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
Undang-Undang ini berdasar pada semangat bahwa penyelenggaraan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan yang bersifat lintas sektor harus dilaksanakan
secara terkoordinasi oleh para pembina beserta para pemangku
kepentingan (stakeholders) lainnya. Guna mengatasi permasalahan yang
sangat kompleks, Undang-Undang ini mengamanatkan dibentuknya forum
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tersebut merupakan badan ad hoc
yang berfungsi sebagai wahana untuk menyinergiskan tugas pokok dan
fungsi setiap instansi penyelenggara Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
dalam rangka menganalisis permasalahan, menjembatani, menemukan
solusi, serta meningkatkan kualitas pelayanan, dan bukan sebagai aparat
penegak hukum.
Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tersebut mempunyai tugas
melakukan koordinasi antarinstansi penyelenggara yang memerlukan
keterpaduan dalam merencanakan dan menyelesaikan masalah Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, sedangkan keanggotaan forum tersebut terdiri
atas unsur pembina, penyelenggara, akademisi, dan masyarakat.
Untuk mempertahankan kelaikan kondisi jalan dan untuk menekan angka
kecelakaan, dalam Undang-Undang ini telah dicantumkan pula dasar
hukum mengenai Dana Preservasi Jalan. Dana Preservasi Jalan hanya
digunakan khusus untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan
- 4 -
Untuk . . .
rekonstruksi jalan, yang pengelolaannya dilaksanakan berdasarkan
prinsip berkelanjutan, akuntabilitas, transparansi, keseimbangan, dan
kesesuaian. Dana Preservasi Jalan dikelola oleh Unit Pengelola Dana
Preservasi Jalan yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada
Menteri yang membidangi jalan, yang pelaksanaannya dilakukan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
Dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan industri di bidang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa
Pemerintah berkewajiban mendorong industri dalam negeri, antara lain
dengan cara memberikan fasilitas, insentif, dan menerapkan standar
produk peralatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pengembangan
industri mencakup pengembangan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan dengan cara dan metode rekayasa, produksi, perakitan, dan
pemeliharaan serta perbaikan.
Untuk menekan angka Kecelakaan Lalu Lintas yang dirasakan sangat
tinggi, upaya ke depan diarahkan pada penanggulangan secara
komprehensif yang mencakup upaya pembinaan, pencegahan,
pengaturan, dan penegakan hukum. Upaya pembinaan tersebut dilakukan
melalui peningkatan intensitas pendidikan berlalu lintas dan penyuluhan
hukum serta pembinaan sumber daya manusia.
Upaya pencegahan dilakukan melalui peningkatan pengawasan kelaikan
jalan, sarana dan prasarana jalan, serta kelaikan Kendaraan, termasuk
pengawasan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang lebih intensif.
Upaya pengaturan meliputi Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dan
modernisasi sarana dan Prasarana Lalu Lintas. Upaya penegakan hukum
dilaksanakan lebih efektif melalui perumusan ketentuan hukum yang
lebih jelas serta penerapan sanksi yang lebih tegas.
Dalam rangka mewujudkan kesetaraan di bidang pelayanan Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, Undang-Undang ini mengatur pula perlakuan
khusus bagi penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita
hamil, dan orang sakit. Bentuk perlakuan khusus yang diberikan oleh
Pemerintah berupa pemberian kemudahan sarana dan prasarana fisik
atau nonfisik yang meliputi aksesibilitas, prioritas pelayanan, dan fasilitas
pelayanan.
- 5 -
Dalam . . .
Untuk meningkatkan pelayanan di bidang keamanan, keselamatan,
ketertiban, dan kelancaran lalu lintas, Undang-Undang ini mengatur dan
mengamanatkan adanya Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan yang didukung oleh subsistem yang dibangun oleh
setiap Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang terpadu. Pengelolaan Sistem
Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan memperhatikan ketentuan
peraturan perundang-undangan, sedangkan mengenai operasionalisasi
Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
dilaksanakan secara terintegrasi melalui pusat kendali dan data.
Undang-Undang ini juga menegaskan keberadaan serta prosedur
pelaksanaan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) untuk
menjamin kelancaran pelayanan administrasi Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan yang meliputi registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan
Pengemudi serta Pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor dan Sumbangan
Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas (SWDKLL).
Dalam rangka memajukan usaha di bidang angkutan umum, Undang-
Undang ini juga mengatur secara terperinci ketentuan teknis operasional
mengenai persyaratan badan usaha angkutan Jalan agar mampu tumbuh
sehat, berkembang, dan kompetitif secara nasional dan internasional.
Selanjutnya, untuk membuka daerah terpencil di seluruh wilayah
Indonesia, Undang-Undang ini tetap menjamin pelayanan angkutan Jalan
perintis dalam upaya peningkatan kegiatan ekonomi.
Untuk menjamin terwujudnya penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan yang memenuhi standar keselamatan dan keamanan, Undang-
Undang ini mengatur persyaratan teknis dan uji berkala kendaraan
bermotor. Setiap jenis Kendaraan Bermotor yang berpotensi menyebabkan
Kecelakaan Lalu Lintas dan menimbulkan pencemaran lingkungan wajib
dilakukan uji berkala.
Untuk memenuhi kebutuhan angkutan publik, dalam norma Undang-
Undang ini juga ditegaskan bahwa tanggung jawab untuk menjamin
tersedianya angkutan umum yang selamat, aman, nyaman, dan
terjangkau menjadi tanggung jawab Pemerintah dan dalam pelaksanaanya
Pemerintah dapat melibatkan swasta.
- 6 -
Undang-Undang . . .
Dalam Undang-Undang ini diatur pula mengenai Manajemen dan
Rekayasa Lalu Lintas dengan tujuan untuk mengoptimalkan penggunaan
jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas dalam rangka menjamin
keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas.
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas tersebut meliputi kegiatan
perencanaan, pengaturan, perekayasaan, pemberdayaan, dan
pengawasan.
Untuk menangani masalah Kecelakaan Lalu Lintas, pencegahan
kecelakaan dilakukan melalui partisipasi para pemangku kepentingan,
pemberdayaan masyarakat, penegakan hukum, dan kemitraan global.
Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas dimaksud, dilakukan dengan pola
penahapan, yaitu program jangka pendek, jangka menengah, dan jangka
panjang. Selain itu, untuk menyusun program pencegahan kecelakaan
dilakukan oleh forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Berkaitan dengan tugas dan wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dalam Undang-Undang ini
diatur bahwa dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya PPNS agar
selalu berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai
koordinator dan pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Hal ini
dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan serta adanya
kepastian hukum sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundangundangan,
antara lain Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
Dalam Undang-Undang ini, pengaturan dan penerapan sanksi pidana
diatur lebih tegas. Bagi pelanggaran yang sifatnya ringan, dikenakan
sanksi pidana kurungan atau denda yang relatif lebih ringan. Namun,
terhadap pelanggaran berat dan terdapat unsur kesengajaan dikenakan
sanksi pidana yang jauh lebih berat. Hal ini dimaksudkan agar dapat
menimbulkan efek jera bagi pelaku pelanggaran dengan tidak terlalu
membebani masyarakat.
Selain sanksi pidana, dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai
sanksi administratif yang dikenakan bagi perusahaan angkutan berupa
peringatan, pembekuan izin, pencabutan izin, pemberian denda.
Ketentuan mengenai sanksi pidana dan administratif diancamkan pula
kepada pejabat atau penyelenggara Jalan. Di sisi lain, dalam rangka
meningkatkan efektivitas penegakan hukum diterapkan sistem
penghargaan dan hukuman (reward and punishment) berupa pemberian
insentif bagi petugas yang berprestasi.
- 7 -
Huruf d . . .
Undang-Undang ini pada dasarnya diatur secara komprehensif dan
terperinci. Namun, untuk melengkapi secara operasional, diatur ketentuan
secara teknis ke dalam peraturan pemerintah, peraturan Menteri, dan
peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku. Untuk menghindari kekosongan hukum, semua
peraturan pelaksanaan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-
Undang ini.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”asas transparan” adalah keterbukaan
dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada
masyarakat luas dalam memperoleh informasi yang benar, jelas,
dan jujur sehingga masyarakat mempunyai kesempatan
berpartisipasi bagi pengembangan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”asas akuntabel” adalah
penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas berkelanjutan” adalah
penjaminan kualitas fungsi lingkungan melalui pengaturan
persyaratan teknis laik kendaraan dan rencana umum
pembangunan serta pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
- 8 -
Pasal 6 . . .
Huruf d
Yang dimaksud dengan ”asas partisipatif” adalah pengaturan
peran serta masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan,
pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan, penanganan
kecelakaan, dan pelaporan atas peristiwa yang terkait dengan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas bermanfaat” adalah semua
kegiatan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
dapat memberikan nilai tambah sebesar-besarnya dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas efisien dan efektif” adalah
pelayanan dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan yang dilakukan oleh setiap pembina pada jenjang
pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna.
Huruf g
Yang dimaksud dengan ”asas seimbang” adalah
penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang harus
dilaksanakan atas dasar keseimbangan antara sarana dan
prasarana serta pemenuhan hak dan kewajiban Pengguna Jasa
dan penyelenggara.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas terpadu” adalah penyelenggaraan
pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dilakukan
dengan mengutamakan keserasian dan kesalingbergantungan
kewenangan dan tanggung jawab antarinstansi pembina.
Huruf i
Yang dimaksud dengan ”asas mandiri” adalah upaya
penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan melalui
pengembangan dan pemberdayaan sumber daya nasional.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
- 9 -
Pasal 14 . . .
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan”
adalah badan ad hoc yang berfungsi sebagai wahana untuk
menyinergikan tugas pokok dan fungsi setiap instansi
penyelenggara Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka:
a. menganalisis permasalahan;
b. menjembatani, menemukan solusi, dan meningkatkan
kualitas pelayanan; dan
c. bukan sebagai aparat penegak hukum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
- 10 -
Pasal 22 . . .
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” adalah dalam hal
berikut:
a. Lalu Lintas yang membutuhkan Prasarana Jalan adalah
Lalu Lintas dengan muatan sumbu terberat kurang dari 8
(delapan) ton; dan/atau
b. Penyelenggara Jalan belum mampu membiayai penyediaan
Prasarana Jalan untuk Lalu Lintas dengan muatan sumbu
terberat paling berat 8 (delapan) ton.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
- 11 -
Pasal 36 . . .
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
- 12 -
Pasal 43 . . .
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “fasilitas utama” adalah jalur
keberangkatan, jalur kedatangan, ruang tunggu penumpang,
tempat naik turun penumpang, tempat parkir kendaraan, papan
informasi, kantor pengendali terminal, dan loket.
Yang dimaksud dengan “fasilitas penunjang” antara lain adalah
fasilitas untuk penyandang cacat, fasilitas kesehatan, fasilitas
umum, fasilitas peribadatan, pos kesehatan, pos polisi, dan alat
pemadam kebakaran.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “lingkungan kerja Terminal” adalah
lingkungan yang berkaitan langsung dengan fasiltas Terminal
dan dibatasi dengan pagar.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”penyelenggara Terminal” adalah unit
pelaksana teknis dari Pemerintah Daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
- 13 -
Ayat (2) . . .
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Parkir untuk umum” adalah tempat
untuk memarkir kendaraan dengan dipungut biaya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “tempat penyeberangan” dapat
berupa zebra cross dan penyeberangan yang berupa
jembatan atau terowongan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 14 -
Ayat (2) . . .
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “mobil penumpang” adalah
Kendaraan Bermotor angkutan orang yang memiliki tempat
duduk maksimal 8 (delapan) orang, termasuk untuk
Pengemudi atau yang beratnya tidak lebih dari 3.500 (tiga
ribu lima ratus) kilogram.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “mobil bus” adalah Kendaraan
Bermotor angkutan orang yang memiliki tempat duduk
lebih dari 8 (delapan) orang, termasuk untuk Pengemudi
atau yang beratnya lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus)
kilogram.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “mobil barang” adalah Kendaraan
Bermotor yang digunakan untuk angkutan barang.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “kendaraan khusus” adalah
Kendaraan Bermotor yang dirancang khusus yang memiliki
fungsi dan rancang bangun tertentu, antara lain:
a. Kendaraan Bermotor Tentara Nasional Indonesia;
b. Kendaraan Bermotor Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
c. alat berat antara lain bulldozer, traktor, mesin gilas
(stoomwaltz), forklift, loader, excavator, dan crane; serta
d. Kendaraan khusus penyandang cacat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 15 -
Huruf c . . .
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “susunan” terdiri atas:
a. rangka landasan;
b. motor penggerak;
c. sistem pembuangan;
d. sistem penerus daya;
e. sistem roda-roda;
f. sistem suspensi;
g. sistem alat kemudi;
h. sistem rem;
i. sistem lampu dan alat pemantul cahaya, terdiri atas:
1. lampu utama dekat, warna putih, atau kuning
muda;
2. lampu utama jauh, warna putih, atau kuning muda;
3. lampu penunjuk arah, warna kuning tua dengan
sinar kelap-kelip;
4. lampu rem, warna merah;
5. lampu posisi depan, warna putih atau kuning muda;
6. lampu posisi belakang, warna merah; dan
7. lampu mundur, warna putih atau kuning muda;
j. komponen pendukung, yang terdiri atas:
1. pengukur kecepatan (speedometer);
2. kaca spion;
3. penghapus kaca kecuali sepeda motor;
4. klakson;
5. spakbor; dan
6. bumper kecuali sepeda motor.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “perlengkapan” terdiri atas:
a. sabuk keselamatan;
b. ban cadangan;
c. segitiga pengaman;
d. dongkrak;
e. pembuka roda;
f. helm dan rompi pemantul cahaya bagi pengemudi
Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih, yang
tidak memiliki rumah-rumah; dan
g. peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan.
- 16 -
Ayat (3) . . .
Huruf c
Yang dimaksud dengan “ukuran” adalah dimensi utama
Kendaraan Bermotor, antara lain panjang, lebar, tinggi,
julur depan (front over hang), julur belakang (rear over
hang), dan sudut pergi (departure angle).
Huruf d
Yang dimaksud dengan “karoseri” adalah badan kendaraan,
antara lain kaca-kaca, pintu, engsel, tempat duduk, tempat
pemasangan tanda nomor Kendaraan Bermotor, tempat
keluar darurat (khusus mobil bus), tangga (khusus mobil
bus), dan perisai kolong (khusus mobil barang).
Huruf e
Yang dimaksud dengan “rancangan teknis kendaraan
sesuai dengan peruntukannya” adalah rancangan yang
sesuai dengan fungsi:
a. kendaraan bermotor untuk mengangkut orang; atau
b. kendaraan bermotor untuk mengangkut barang.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “pemuatan” adalah tata cara untuk
memuat orang dan/atau barang.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “penggunaan” adalah cara
menggunakan Kendaraan Bermotor sesuai dengan
peruntukannya.
Huruf h
Yang dimaksud dengan ”penggandengan Kendaraan
Bermotor” adalah cara menggandengkan Kendaraan
Bermotor dengan menggunakan alat perangkai.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “penempelan Kendaraan Bermotor”
adalah cara menempelkan Kendaraan Bermotor dengan:
a. menggunakan alat perangkai;
b. menggunakan roda kelima yang dilengkapi dengan alat
pengunci; dan
c. dilengkapi kaki-kaki penopang.
- 17 -
Pasal 55 . . .
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “izin dari Pemerintah” adalah izin
dari kementerian negara yang membidangi sarana dan
Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berdasarkan
rekomendasi dari kementerian yang membidangi industri,
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
- 18 -
Pasal 60 . . .
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Yang dimaksud dengan “perlengkapan yang dapat mengganggu
keselamatan berlalu lintas” adalah pemasangan peralatan,
perlengkapan, atau benda lain pada Kendaraan yang dapat
membahayakan keselamatan lalu lintas, antara lain pemasangan
bumper tanduk dan lampu menyilaukan.
Pasal 59
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kepentingan tertentu” adalah
Kendaraan yang karena sifat dan fungsinya diberi lampu isyarat
berwarna merah atau biru sebagai tanda memiliki hak utama
untuk kelancaran dan lampu isyarat berwarna kuning sebagai
tanda yang memerlukan perhatian khusus dari Pengguna Jalan
untuk keselamatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Kendaraan Bermotor yang memiliki hak
utama” adalah Kendaraan Bermotor yang mendapat prioritas
dan wajib didahulukan dari Pengguna Jalan lain.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
- 19 -
Ayat (2) . . .
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”mempunyai kualitas tertentu” adalah
bengkel umum yang mampu melakukan jenis pekerjaan
perawatan berkala, perbaikan kecil, perbaikan besar, serta
perbaikan sasis dan bodi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “dimensi” adalah ukuran muatan yang
didasarkan pada panjang, lebar, dan tinggi bak kendaraan yang
memenuhi persyaratan keselamatan Kendaraan, Pengemudi,
dan Pengguna Jalan lain.
Yang dimaksud dengan “berat” adalah beban yang sesuai
dengan kemampuan penarik atau pendorong, kemampuan rem,
dan daya dukung sumbu roda sesuai dengan daya dukung
Jalan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 20 -
e. memindahkan . . .
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “fasilitas pendukung” antara lain berupa
lajur khusus sepeda, fasilitas menyeberang khusus dan/atau
bersamaan dengan Pejalan Kaki.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “cek fisik Kendaraan Bermotor” adalah
cek fisik yang disesuaikan dengan dokumen hasil uji tipe dan
dokumen pendukung lain.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kepentingan tertentu” meliputi:
a. memindahkan kendaraan dari tempat penjual, distributor,
atau pabrikan ke tempat tertentu untuk mengganti atau
melengkapi komponen penting dari Kendaraan yang
bersangkutan atau ke tempat pendaftaran Kendaraan
Bermotor;
b. memindahkan dari satu tempat penyimpanan di suatu pabrik
ke tempat penyimpanan di pabrik lain;
c. mencoba Kendaraan Bermotor baru sebelum kendaraan
tersebut dijual;
d. mencoba Kendaraan Bermotor yang sedang dalam taraf
penelitian; atau
- 21 -
Ayat (2) . . .
e. memindahkan Kendaraan Bermotor dari tempat penjual ke
tempat pembeli.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pengesahan setiap tahun” adalah
sebagai pengawasan tahunan terhadap registrasi dan identifikasi
Kendaraan Bermotor serta menumbuhkan kepatuhan wajib
pajak Kendaraan Bermotor.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “bukti registrasi hilang atau rusak”
adalah kehilangan atau kerusakan Buku Pemilik Kendaraan
Bermotor, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, dan/atau
Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “spesifikasi teknis Kendaraan
Bermotor diubah” adalah perubahan yang terjadi pada
spesifikasi teknis Kendaraan Bermotor, antara lain perubahan
mesin penggerak, perubahan karoseri, dan modifikasi.
Yang dimaksud dengan “fungsi Kendaraan Bermotor diubah”
adalah terjadinya perubahan fungsi Kendaraan Bermotor
Umum menjadi Kendaraan Bermotor perseorangan atau
sebaliknya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “beralih” adalah Kendaraan Bermotor
yang telah dijual atau dihibahkan.
Huruf d
Cukup jelas.
- 22 -
Huruf b . . .
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “akreditasi” mencakup kelembagaan,
instruktur, kurikulum, kendaraan, pelatihan, dan sarana lain.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Huruf a
Cukup jelas.
- 23 -
Angka 5 . . .
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Kendaraan alat berat” antara lain
traktor, stoomwaltz, forklift, loader, excavator, buldozer, dan
crane.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan “tempat tertentu lainnya”
antara lain, Halte, pusat distribusi barang, pusat
pemerintahan, pusat pendidikan, dan pusat
perekonomian.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
- 24 -
Pasal 92 . . .
Angka 5
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Surat Izin Mengemudi bentuk lain”
adalah Surat Izin Mengemudi yang bentuknya disesuaikan
dengan perkembangan teknologi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
- 25 -
Ayat (3) . . .
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan ”tingkat pelayanan” adalah ukuran
kuantitatif (rasio volume per kapasitas) dan kualitatif yang
menggambarkan kondisi operasional, seperti kecepatan,
waktu perjalanan, kebebasan bergerak, keamanan,
keselamatan, ketertiban, dan kelancaran dalam arus Lalu
Lintas serta penilaian Pengemudi terhadap kondisi arus
Lalu Lintas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 26 -
Pasal 98 . . .
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”perbaikan geometrik ruas jalan”
adalah perbaikan terhadap bentuk dan dimensi jalan,
antara lain radius, kemiringan, alinyemen (alignment), lebar,
dan kanalisasi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “jalan kota” adalah seluruh Jaringan
Jalan yang berada dalam wilayah administratif kota, kecuali
jalan nasional dan jalan provinsi.
Pasal 97
Cukup jelas.
- 27 -
Ayat (3) . . .
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pembangunan pusat kegiatan,
permukiman, dan infrastruktur” adalah pembangunan baru,
perubahan penggunaan lahan, perubahan intensitas tata guna
lahan dan/atau perluasan lantai bangunan dan/atau perubahan
intensitas penggunaan, perubahan kerapatan guna lahan
tertentu, penggunaan lahan tertentu, antara lain Terminal,
Parkir untuk umum di luar Ruang Milik Jalan, tempat pengisian
bahan bakar minyak, dan fasilitas umum lain.
Analisis dampak lalu lintas dalam implementasinya dapat
diintegrasikan dengan analisis mengenai dampak lingkungan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 100
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “instansi terkait di bidang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan” adalah instansi yang membidangi Jalan,
instansi yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan jangka waktu 30 (tiga puluh) hari adalah
waktu yang disediakan untuk memberikan informasi kepada
Pengguna Jalan.
- 28 -
Pasal 106 . . .
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 103
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “marka kotak kuning” adalah Marka
Jalan berbentuk segi empat berwarna kuning yang berfungsi
untuk melarang Kendaraan berhenti di suatu area.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 104
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” adalah keadaan
sistem Lalu Lintas tidak berfungsi untuk Kelancaran Lalu Lintas
yang disebabkan, antara lain, oleh:
a. perubahan Lalu Lintas secara tiba-tiba atau situasional;
b. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas tidak berfungsi;
c. adanya Pengguna Jalan yang diprioritaskan;
d. adanya pekerjaan jalan;
e. adanya bencana alam; dan/atau
f. adanya Kecelakaan Lalu Lintas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
- 29 -
Pasal 107 . . .
Pasal 106
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”penuh konsentrasi” adalah setiap orang
yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan penuh
perhatian dan tidak terganggu perhatiannya karena sakit, lelah,
mengantuk, menggunakan telepon atau menonton televisi atau
video yang terpasang di Kendaraan, atau meminum minuman
yang mengandung alkohol atau obat-obatan sehingga
memengaruhi kemampuan dalam mengemudikan Kendaraan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “tanda bukti lain yang sah” adalah
surat tanda bukti penyitaan sebagai pengganti Surat Tanda
Nomor Kendaraan Bermotor, atau Surat Tanda Coba
Kendaraan Bermotor, Surat Izin Mengemudi, dan kartu uji
berkala.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
- 30 -
Pasal 116 . . .
Pasal 107
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” adalah kondisi jarak
pandang terbatas karena gelap, hujan lebat, terowongan, dan
kabut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah jika lajur
sebelah kanan atau paling kanan dalam keadaan macet, antara
lain akibat Kecelakaan Lalu Lintas, pohon tumbang, jalan
berlubang, genangan air, Kendaraan mogok, antrean mengubah
arah, atau Kendaraan bermaksud berbelok kiri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
- 31 -
Pasal 121 . . .
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tempat tertentu yang dapat
membahayakan” adalah:
a. tempat penyeberangan Pejalan Kaki atau tempat
penyeberangan sepeda yang telah ditentukan;
b. jalur khusus Pejalan Kaki;
c. tikungan;
d. di atas jembatan;
e. tempat yang mendekati perlintasan sebidang dan
persimpangan;
f. di muka pintu keluar masuk pekarangan;
g. tempat yang dapat menutupi Rambu Lalu Lintas atau Alat
Pemberi Isyarat Lalu Lintas; atau
h. berdekatan dengan keran pemadam kebakaran atau sumber
air untuk pemadam kebakaran.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 119
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “isyarat tanda berhenti” dapat berupa
peralatan elektronik atau mekanik yang menunjukkan isyarat
dengan tulisan berhenti.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
- 32 -
Pasal 128 . . .
Pasal 121
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “isyarat lain” antara lain lampu darurat
dan senter.
Yang dimaksud dengan “keadaan darurat” adalah Kendaraan
dalam keadaan mogok, Kecelakaan Lalu Lintas, dan mengganti
ban.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Yang dimaksud dengan “jaringan Jalan” adalah satu kesatuan
jaringan yang terdiri atas sistem jaringan primer dan sistem jaringan
Jalan sekunder yang terjalin dalam hubungan hierarkis.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penyelenggaraan kegiatan di luar
fungsinya” antara lain:
a. kegiatan keagamaan;
b. kegiatan kenegaraan;
c. kegiatan olahraga; dan/atau
d. kegiatan budaya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kepentingan pribadi” antara lain untuk
pesta perkawinan, kematian, atau kegiatan lain.
- 33 -
Huruf b . . .
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “fasilitas lain” antara lain lampu yang
ada tandanya bagi Pejalan Kaki.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “retribusi pengendalian Lalu Lintas”
adalah dana yang dipungut dari Pengguna Jalan yang akan
memasuki ruas jalan atau kawasan yang telah ditetapkan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 134
Huruf a
Cukup jelas.
- 34 -
Huruf c . . .
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “kepentingan tertentu” adalah
kepentingan yang memerlukan penanganan segera, antara
lain, Kendaraan untuk penanganan ancaman bom,
Kendaraan pengangkut pasukan, Kendaraan untuk
penanganan huru-hara, dan Kendaraan untuk penanganan
bencana alam.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
- 35 -
Huruf d . . .
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kepentingan lain” adalah
kepentingan yang dilakukan untuk mengatasi
permasalahan keamanan, sosial, dan keadaan darurat yang
disebabkan tidak dapat menggunakan mobil penumpang
atau mobil bus.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Yang dimaksud dengan “trayek” adalah lintasan Kendaraan Bermotor
Umum untuk pelayanan jasa angkutan, yang mempunyai asal dan
tujuan perjalanan tetap, serta lintasan tetap, baik berjadwal maupun
tidak berjadwal.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”angkutan lintas batas negara” adalah
angkutan dari satu kota ke kota lain yang melewati lintas batas
negara dengan menggunakan mobil bus umum yang terikat
dalam trayek.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”angkutan antarkota antarprovinsi”
adalah angkutan dari satu kota ke kota lain yang melalui daerah
kabupaten/kota yang melewati satu daerah provinsi yang terikat
dalam trayek.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”angkutan antarkota dalam provinsi”
adalah angkutan dari satu kota ke kota lain antardaerah
kabupaten/kota dalam satu daerah provinsi yang terikat dalam
trayek.
- 36 -
Pasal 149 . . .
Huruf d
Yang dimaksud dengan ”angkutan perkotaan” adalah angkutan
dari satu tempat ke tempat lain dalam kawasan perkotaan yang
terikat dalam trayek.
Kawasan perkotaan yang dimaksud berupa:
a. kota sebagai daerah otonom;
b. bagian daerah kabupaten yang memiliki ciri perkotaan; atau
c. kawasan yang berada dalam bagian dari dua atau lebih
daerah yang berbatasan langsung dan memiliki ciri
perkotaan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “angkutan perdesaan” adalah angkutan
dari satu tempat ke tempat lain dalam satu daerah kabupaten
yang tidak bersinggungan dengan trayek angkutan perkotaan.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “instansi terkait” adalah instansi
pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
- 37 -
Pasal 156 . . .
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dari pintu ke pintu” adalah pelayanan
taksi dari tempat asal ke tempat tujuan (door to door).
Yang dimaksud dengan “wilayah operasi” adalah kawasan
tempat angkutan taksi beroperasi berdasarkan izin yang
diberikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 153
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keperluan lain” adalah angkutan yang
digunakan untuk karyawan dan keperluan sosial, antara lain,
melayat, olahraga, dan hajatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 154
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tanda khusus” antara lain adalah
tulisan pariwisata dan nama perusahaan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
- 38 -
Huruf b . . .
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
Cukup jelas.
Pasal 158
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “angkutan massal berbasis Jalan”
adalah suatu sistem angkutan yang menggunakan mobil bus
dengan lajur khusus yang terproteksi sehingga memungkinkan
peningkatan kapasitas angkut yang bersifat massal.
Yang dimaksud dengan “kawasan perkotaan” adalah kawasan
perkotaan megapolitan, kawasan metropolitan, dan kawasan
perkotaan besar sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “lajur khusus” adalah lajur yang
disediakan untuk angkutan massal berbasis jalan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “tidak berimpitan” adalah trayek
angkutan umum memiliki kesamaan dengan trayek
angkutan massal sehingga memungkinkan timbulnya
persaingan yang tidak sehat.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “angkutan pengumpan (feeder)”
adalah angkutan umum dengan trayek yang berkelanjutan
dengan trayek angkutan massal.
Pasal 159
Cukup jelas.
Pasal 160
Huruf a
Yang dimaksud dengan “angkutan barang umum” adalah
angkutan barang pada umumnya, yaitu barang yang tidak
berbahaya dan tidak memerlukan sarana khusus.
- 39 -
Pasal 166 . . .
Huruf b
Yang dimaksud dengan “angkutan barang khusus” adalah
angkutan yang membutuhkan mobil barang yang dirancang
khusus untuk mengangkut benda yang berbentuk curah, cair,
dan gas, peti kemas, tumbuhan, hewan hidup, dan alat berat
serta membawa barang berbahaya, antara lain:
a. barang yang mudah meledak;
b. gas mampat, gas cair, gas terlarut pada tekanan atau
temperatur tertentu;
c. cairan mudah menyala;
d. padatan mudah menyala;
e. bahan penghasil oksidan;
f. racun dan bahan yang mudah menular;
g. barang yang bersifat radioaktif; dan
h. barang yang bersifat korosif.
Pasal 161
Cukup jelas.
Pasal 162
Cukup jelas.
Pasal 163
Cukup jelas.
Pasal 164
Cukup jelas.
Pasal 165
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “angkutan multimoda” adalah angkutan
barang dengan menggunakan paling sedikit 2 (dua) moda
angkutan yang berbeda atas dasar 1 (satu) kontrak yang
menggunakan dokumen angkutan multimoda dari 1 (satu)
tempat penerimaan barang oleh operator angkutan multimoda
ke suatu tempat yang ditentukan untuk penyerahan barang
tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 40 -
Pasal 169 . . .
Pasal 166
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tiket Penumpang” adalah dokumen
yang memuat informasi paling sedikit:
a. nomor, tempat duduk, dan tanggal penerbitan;
b. nama Penumpang dan nama pengangkut;
c. tempat, tanggal, dan waktu pemberangkatan serta
tujuan perjalanan;
d. nomor pemberangkatan; dan
e. pernyataan bahwa pengangkut tunduk pada ketentuan
dalam Undang-Undang ini.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tanda pengenal bagasi” adalah
tanda yang paling sedikit memuat informasi tentang:
a. nomor tanda pengenal bagasi;
b. kode tempat keberangkatan dan tempat tujuan; dan
c. berat bagasi.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “surat perjanjian pengangkutan
barang” adalah bukti pembayaran sah antara pengangkut
barang dan pengirim barang.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “surat muatan barang” adalah surat
yang menerangkan jenis dan jumlah barang serta asal dan
tujuan pengiriman. Pengangkutan barang dengan surat
muatan barang tidak termasuk angkutan untuk barang
pribadi.
Pasal 167
Cukup jelas.
Pasal 168
Cukup jelas.
- 41 -
Pasal 178 . . .
Pasal 169
Cukup jelas.
Pasal 170
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “lokasi tertentu” adalah tempat
pengawasan angkutan barang yang dilakukan secara efektif dan
efisien.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 171
Cukup jelas.
Pasal 172
Cukup jelas.
Pasal 173
Cukup jelas.
Pasal 174
Cukup jelas.
Pasal 175
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”jangka waktu tertentu” adalah masa
berlaku izin penyelenggaraan angkutan umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 176
Cukup jelas.
Pasal 177
Cukup jelas.
- 42 -
Pasal 191 . . .
Pasal 178
Cukup jelas.
Pasal 179
Cukup jelas.
Pasal 180
Cukup jelas.
Pasal 181
Cukup jelas.
Pasal 182
Cukup jelas.
Pasal 183
Cukup jelas.
Pasal 184
Cukup jelas.
Pasal 185
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “trayek tertentu” adalah trayek angkutan
penumpang umum orang yang secara finansial belum
menguntungkan, termasuk trayek angkutan perintis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 186
Cukup jelas.
Pasal 187
Cukup jelas.
Pasal 188
Cukup jelas.
Pasal 189
Cukup jelas.
Pasal 190
Cukup jelas.
- 43 -
Ayat (3) . . .
Pasal 191
Cukup jelas.
Pasal 192
Cukup jelas.
Pasal 193
Cukup jelas.
Pasal 194
Cukup jelas.
Pasal 195
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “memungut biaya tambahan” adalah
pengenaan biaya tambahan di luar biaya yang telah disepakati
oleh pengirim atau penerima barang kepada Perusahaan
Angkutan Umum karena adanya biaya penyimpanan barang
sebagai akibat keterlambatan pengambilan barang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 196
Cukup jelas.
Pasal 197
Cukup jelas.
Pasal 198
Cukup jelas.
Pasal 199
Cukup jelas.
Pasal 200
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 44 -
Pasal 201 . . .
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “program nasional Keamanan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan” antara lain:
a. Polisi Sahabat Anak;
b. Cara Aman ke Sekolah;
c. Patroli Keamanan Sekolah;
d. Pramuka Saka Bhayangkara Krida Lalu Lintas;
e. Kemitraan Lalu Lintas; dan
f. Pedoman Sistem Keamanan bagi Perusahaan Angkutan
Umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “fasilitas dan perlengkapan
Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan” antara lain:
a. pusat manajeman Lalu Lintas (traffic management
centre);
b. pusat komunikasi dan sambungan langsung (call centre
and hotline);
c. sirkuit televisi terbatas (closed circuit television);
d. alat pemberi isyarat terjadinya bahaya;
e. Pos Polisi;
f. sarana peraga; dan
g. tombol untuk pemberitahuan keadaan panik (panic
button);
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pelaksanaan pendidikan dan
pelatihan” antara lain:
a. cara aman dan selamat ke sekolah; dan
b. cara aman dan selamat berkendara.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
- 45 -
Pasal 204 . . .
Pasal 201
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “alat pemberi informasi” adalah
perangkat elektronik yang berisi informasi dan komunikasi
dengan menggunakan isyarat, gelombang radio, dan/atau
gelombang satelit untuk memberikan informasi dan komunikasi
terjadinya tindak pidana, antara lain lampu isyarat, alat
pelacakan, dan alat petunjuk posisi geografis (global positioning
system).
Pasal 202
Cukup jelas.
Pasal 203
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “program nasional Keselamatan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan” antara lain:
a. Polisi Mitra Kampus (Police Goes to Campus);
b. Cara Berkendara dengan Selamat (Safety Riding);
c. Forum Lalu Lintas (Traffic Board);
d. Kampanye Keselamatan Lalu Lintas;
e. Taman Lalu Lintas;
f. Sekolah Mengemudi; dan
g. Kemitraan Global Keselamatan Lalu Lintas (Global Road
Safety Partnership).
Huruf b
Yang dimaksud dengan “fasilitas dan perlengkapan
Keselamatan Lalu Lintas” antara lain alat pemantau
kecepatan dan alat pemantau kemacetan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
- 46 -
Pasal 218 . . .
Pasal 204
Cukup jelas.
Pasal 205
Cukup jelas.
Pasal 206
Cukup jelas.
Pasal 207
Cukup jelas.
Pasal 208
Cukup jelas.
Pasal 209
Cukup jelas.
Pasal 210
Cukup jelas.
Pasal 211
Cukup jelas.
Pasal 212
Cukup jelas.
Pasal 213
Cukup jelas.
Pasal 214
Cukup jelas.
Pasal 215
Cukup jelas.
Pasal 216
Cukup jelas.
Pasal 217
Cukup jelas.
- 47 -
Pasal 225 . . .
Pasal 218
Cukup jelas.
Pasal 219
Cukup jelas.
Pasal 220
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “badan hukum” adalah badan
(perkumpulan dan sebagainya) yang dalam hukum diakui
sebagai subjek hukum yang dapat dilekatkan hak dan
kewajiban hukum, seperti perseroan, yayasan, dan
lembaga.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 221
Cukup jelas.
Pasal 222
Cukup jelas.
Pasal 223
Cukup jelas.
Pasal 224
Cukup jelas.
- 48 -
Ayat (3) . . .
Pasal 225
Cukup jelas.
Pasal 226
Cukup jelas.
Pasal 227
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “menolong korban” adalah upaya yang
dilakukan untuk membantu meringankan beban penderitaan
korban akibat Kecelakaan Lalu Lintas, antara lain memberikan
pertolongan pertama di tempat kejadian dan membawa korban
ke rumah sakit.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 228
Cukup jelas.
Pasal 229
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 49 -
Pasal 234 . . .
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “luka ringan” adalah luka yang
mengakibatkan korban menderita sakit yang tidak memerlukan
perawatan inap di rumah sakit atau selain yang di klasifikasikan
dalam luka berat.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “luka berat” adalah luka yang
mengakibatkan korban:
a. jatuh sakit dan tidak ada harapan sembuh sama sekali atau
menimbulkan bahaya maut;
b. tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas
jabatan atau pekerjaan;
c. kehilangan salah satu pancaindra;
d. menderita cacat berat atau lumpuh;
e. terganggu daya pikir selama 4 (empat) minggu lebih;
f. gugur atau matinya kandungan seorang perempuan; atau
g. luka yang membutuhkan perawatan di rumah sakit lebih
dari 30 (tiga puluh) hari.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 230
Cukup jelas.
Pasal 231
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa” adalah situasi di
lingkungan lokasi kecelakaan yang dapat mengancam
keselamatan diri Pengemudi, terutama dari amukan massa dan
kondisi Pengemudi yang tidak berdaya untuk memberikan
pertolongan.
Pasal 232
Cukup jelas.
Pasal 233
Cukup jelas.
- 50 -
Pasal 238 . . .
Pasal 234
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab” adalah
pertanggungjawaban disesuaikan dengan tingkat kesalahan
akibat kelalaian.
Yang dimaksud dengan “pihak ketiga” adalah :
a. orang yang berada di luar Kendaraan Bermotor; atau
b. instansi yang bertanggung jawab di bidang Jalan serta
sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa” termasuk
keadaan yang secara teknis tidak mungkin dielakkan oleh
Pengemudi, seperti gerakan orang dan/atau hewan secara
tiba-tiba.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 235
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan membantu berupa biaya pengobatan
adalah bantuan biaya yang diberikan kepada korban, termasuk
pengobatan dan perawatan atas dasar kemanusiaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 236
Cukup jelas.
Pasal 237
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “awak kendaraan” adalah Pengemudi,
Pengemudi cadangan, kondektur, dan pembantu Pengemudi.
- 51 -
Ayat (3) . . .
Pasal 238
Cukup jelas.
Pasal 239
Cukup jelas.
Pasal 240
Cukup jelas.
Pasal 241
Cukup jelas.
Pasal 242
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perlakuan khusus” adalah pemberian
kemudahan berupa sarana dan prasarana fisik dan nonfisik
yang bersifat umum serta informasi yang diperlukan bagi
penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita
hamil, dan orang sakit untuk memperoleh kesetaraan
kesempatan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “prioritas pelayanan” adalah
pengutamaan pemberian pelayanan khusus.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 243
Cukup jelas.
Pasal 244
Cukup jelas.
Pasal 245
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 52 -
Pasal 246 . . .
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “bidang prasarana Jalan” antara
lain informasi tentang:
1. jaringan Jalan;
2. kondisi Jalan dan jembatan;
3. tingkat pelayanan Jalan dan jembatan;
4. bangunan pelengkap;
5. pemeliharaan Jalan; dan
6. pembangunan Jalan;
Huruf b
Yang dimaksud dengan “bidang sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan” antara lain informasi tentang:
1. jaringan angkutan;
2. Terminal;
3. izin trayek;
4. perlengkapan jalan;
5. aturan perintah dan larangan;
6. pengujian Kendaraan Bermotor;
7. alat penimbang Kendaraan Bermotor; dan
8. fasilitas pendukung.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “bidang registrasi dan identifikasi
Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum,
Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta
pendidikan berlalu lintas” antara lain informasi tentang:
1. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor;
2. Kecelakaan Lalu Lintas;
3. pelanggaran Lalu Lintas;
4. situasi dan kondisi Lalu Lintas;
5. administrasi manunggal satu atap;
6. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepolisian;
7. manajemen operasional lalu lintas kepolisian;
8. pendidikan berlalu lintas; dan
9. pelayanan, pelaporan, dan pengaduan masyarakat.
Yang dimaksud dengan “manajemen operasional” adalah
pengelolaan pergerakan dalam sistem Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, antara lain pengaturan, penjagaan,
pengawalan, patroli, kendali, koordinasi, komunikasi, dan
informasi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
- 53 -
Pasal 252 . . .
Pasal 246
Cukup jelas.
Pasal 247
Cukup jelas.
Pasal 248
Cukup jelas.
Pasal 249
Ayat(1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “pusat pelayanan masyarakat”
adalah wadah yang berfungsi sebagai penyedia informasi
dan sarana berkomunikasi masyarakat di bidang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 250
Cukup jelas.
Pasal 251
Cukup jelas.
- 54 -
Ayat (2) . . .
Pasal 252
Cukup jelas.
Pasal 253
Cukup jelas.
Pasal 254
Cukup jelas.
Pasal 255
Cukup jelas.
Pasal 256
Cukup jelas.
Pasal 257
Cukup jelas.
Pasal 258
Cukup jelas.
Pasal 259
Cukup jelas.
Pasal 260
Cukup jelas.
Pasal 261
Cukup jelas.
Pasal 262
Cukup jelas.
Pasal 263
Cukup jelas.
Pasal 264
Cukup jelas.
Pasal 265
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 55 -
Pasal 269 . . .
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “berkala” adalah pemeriksaan yang
dilakukan secara bersama-sama demi efisiensi dan efektivitas
agar tidak terjadi pemeriksaan yang berulang-ulang dan
merugikan masyarakat.
Yang dimaksud dengan “insidental” adalah termasuk tindakan
petugas terhadap pelanggaran yang tertangkap tangan,
pelaksanaan operasi kepolisian dengan sasaran Keamanan,
Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, serta penanggulangan kejahatan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 266
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah adanya
peningkatan antara lain:
a. angka pelanggaran dan Kecelakaan Lalu Lintas di Jalan;
b. angka kejahatan yang menyangkut Kendaraan Bermotor;
c. jumlah Kendaraan Bermotor yang tidak memenuhi
persyaratan teknis dan persyaratan laik jalan;
d. tingkat ketidaktaatan pemilik dan/atau pengusaha angkutan
untuk melakukan pengujian Kendaraan Bermotor pada
waktunya;
e. tingkat pelanggaran perizinan angkutan umum; dan/atau
f. tingkat pelanggaran kelebihan muatan angkutan barang.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 267
Cukup jelas.
Pasal 268
Cukup jelas.
- 56 -
Pasal 282 . . .
Pasal 269
Cukup jelas.
Pasal 270
Cukup jelas.
Pasal 271
Cukup jelas.
Pasal 272
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”peralatan elektronik” adalah alat
perekam kejadian untuk menyimpan informasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 273
Cukup jelas.
Pasal 274
Cukup jelas.
Pasal 275
Cukup jelas.
Pasal 276
Cukup jelas.
Pasal 277
Cukup jelas.
Pasal 278
Cukup jelas.
Pasal 279
Cukup jelas.
Pasal 280
Cukup jelas.
Pasal 281
Cukup jelas.
- 57 -
Pasal 296 . . .
Pasal 282
Cukup jelas.
Pasal 283
Cukup jelas.
Pasal 284
Cukup jelas.
Pasal 285
Cukup jelas.
Pasal 286
Cukup jelas.
Pasal 287
Cukup jelas.
Pasal 288
Cukup jelas.
Pasal 289
Cukup jelas.
Pasal 290
Cukup jelas.
Pasal 291
Cukup jelas.
Pasal 292
Cukup jelas.
Pasal 293
Cukup jelas.
Pasal 294
Cukup jelas.
Pasal 295
Cukup jelas.
- 58 -
Pasal 310 . . .
Pasal 296
Cukup jelas.
Pasal 297
Cukup jelas.
Pasal 298
Cukup jelas.
Pasal 299
Cukup jelas.
Pasal 300
Cukup jelas.
Pasal 301
Cukup jelas.
Pasal 302
Cukup jelas.
Pasal 303
Cukup jelas.
Pasal 304
Cukup jelas.
Pasal 305
Cukup jelas.
Pasal 306
Cukup jelas.
Pasal 307
Cukup jelas.
Pasal 308
Cukup jelas.
Pasal 309
Cukup jelas.
- 59 -
Pasal 324 . . .
Pasal 310
Cukup jelas.
Pasal 311
Cukup jelas.
Pasal 312
Cukup jelas.
Pasal 313
Cukup jelas.
Pasal 314
Cukup jelas.
Pasal 315
Cukup jelas.
Pasal 316
Cukup jelas.
Pasal 317
Cukup jelas.
Pasal 318
Cukup jelas.
Pasal 319
Cukup jelas.
Pasal 320
Cukup jelas.
Pasal 321
Cukup jelas.
Pasal 322
Cukup jelas.
Pasal 323
Cukup jelas.
- 60 -
Pasal 324
Cukup jelas.
Pasal 325
Cukup jelas.
Pasal 326
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar