Cari Blog Ini

Rabu, 24 November 2010

Perkawinan-Undang-Undang No. 1 Tahun 1974




Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1974
Tentang
Perkawinan
DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1) dan pasal 29 Undang-undang Dasar 1945.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
M E M U T U S K A N:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN. Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 1
BAB I DASAR PERKAWINAN
Pasal 1
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3
(1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri.
Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 2
(2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kaber dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
BAB II SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Pasal 6
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukun masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 3
a. berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau praturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Pasal 9
Seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan dalam Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 10
Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum, masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 11
(1) Bagi seorang yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
Pasal 12
Tata cara perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
BAB III PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pasal 13
Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 14
(1) Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Mereka yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lain, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 4
Pasal 15
Barang siapa yang karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 16
(1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.
Pasal 17
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.
Pasal 18
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.
Pasal 19
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.
Pasal 20
Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9< Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
Pasal 21
(1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2) Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan yang oleh pegawai pencaatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakkan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan putusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakkan tersebut di atas.
(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akanmemberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakkan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.
Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 5
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan pada pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahukan tentang maksud mereka.
BAB IV BATALNYA PERKAWINAN
Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 23
Yang dapat mengajukan Pembatalan perkawinan yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.
b. Suami atau isteri.
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pasal 24
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 25
Permihonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.
Pasal 26
(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasrkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka setelah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 6
Pasal 27
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu telah menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 28
(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan.
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
c. Orang-orang ketiga lainnya termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
BAB V PERJANJIAN PERKAWINAN
Pasal 29
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertilis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
(2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 7
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTERI
Pasal 30
Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal 32
(1) Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami-isteri bersama.
Pasal 33
Suami isteri wajib saling saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya. (3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
BAB VII HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN
Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 8
Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing.
BAB VIII PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA
Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena:
a. Kematian,
b. Perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan.
Pasal 39
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.
(3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersebut.
Pasal 40
(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
(2) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibuatau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.
Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 9
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
BAB IX KEDUDUKAN ANAK
Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Pasal 43
(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 44
(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
BAB X HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK
Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik anak-anak mereka sebaik-baiknya
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal 46
(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.
(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bnila mereka itu memerlukan bantuannya. Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 10
Pasal 47
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Pasal 49
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saidara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. Ia berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.
BAB XI
PERWAKILAN
Pasal 50
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
(2) Perwakilan itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Pasal 51
(1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.
(2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujurdan berkelakuan baik.
(3) Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan itu.
Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 11
(4) Wali wajib membuat daftar harta benda yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.
(5) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.
Pasal 52
Terhadap wali berlaku juga pasal 48 Undang-undang ini.
Pasal 53
(1) Wali dapat di cabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 49 Undang-undang ini.
(2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimna dimaksud pada ayat (1) pasal ini oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.
Pasal 54
Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga tersebut dengan keputisan Pengadilan, yang bersangkutan dapat di wajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.
BAB XII KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Bagian Pertama Pembuktian Asal-usul Anak
Pasal 55
(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
(3) atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 12
Bagian Kedua
Perkawinan di Luar Indonesia
Pasal 56
(1) Perkawinan di Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang ini.
(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatat perkawinan tempat tinggal mereka.
Bagian Ketiga Perkawinan Campuran
Pasal 57
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarga-negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal 58
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
Pasal 59
(1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata.
(2) Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang perkawinan ini.
Pasal 60
(1) Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh pihak masing-masing telah dipenuhi.
(2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
(3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 13
(4) Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut ayat (3).
(5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.
Pasal 61
(1) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
(2) Barang siapa yang melangsungkan perkawinan campuran tampa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1(satu) bulan.
(3) Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetaui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.
Pasal 62
Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini.
Bagian Keempat Pengadilan
Pasal 63
(1) Yang dimaksudkan dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah:
a. Pengadilan agama mereka yang beragama Islam.
b. Pengadilan Umum bagi yang lainnya.
(2) Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.
BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang tejadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah.
Pasal 65
(1) dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut:
Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 14
a. Suami wajib memberikan jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya;
b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi;
c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.
(2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini.
BAB XIV KETENTUAN PENUTUP
Pasal 66
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 67
(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaanya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebuh lanjut oleh Peraturan Pemerintah.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundang Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1974 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO JENDERAL TNI.
Diundangkan di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1974 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA R.I
SUDHARMONO, SH. MAYOR JENDERAL TNI.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1974 NOMOR 1
Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 15

Kewarganegaraan-Undang-Undang No. 12 Tahun 2006




UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2006
TENTANG
KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menjamin potensi, harkat, dan martabat
setiap orang sesuai dengan hak asasi manusia;
b. bahwa warga negara merupakan salah satu unsur hakiki
dan unsur pokok dari suatu negara yang memiliki hak dan
kewajiban yang perlu dilindungi dan dijamin
pelaksanaannya;
c. bahwa Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976
tentang Perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62
Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
ketatanegaraan Republik Indonesia sehingga harus dicabut
dan diganti dengan yang baru;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk
Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28B ayat (2),
Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I
ayat (2), dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN : . . .
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEWARGANEGARAAN
REPUBLIK INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Warga Negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
2. Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang
berhubungan dengan warga negara.
3. Pewarganegaraan adalah tata cara bagi orang asing untuk
memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia melalui
permohonan.
4. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
5. Pejabat adalah orang yang menduduki jabatan tertentu
yang ditunjuk oleh Menteri untuk menangani masalah
Kewarganegaraan Republik Indonesia.
6. Setiap orang adalah orang perseorangan, termasuk
korporasi.
7. Perwakilan Republik Indonesia adalah Kedutaan Besar
Republik Indonesia, Konsulat Jenderal Republik Indonesia,
Konsulat Republik Indonesia, atau Perutusan Tetap
Republik Indonesia.
Pasal 2
Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang
bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang
disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
Pasal 3
Kewarganegaraan Republik Indonesia hanya dapat diperoleh
berdasarkan . . .
- 3 -
berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam Undang-
Undang ini.
BAB II
WARGA NEGARA INDONESIA
Pasal 4
Warga Negara Indonesia adalah:
a. setiap orang yang berdasarkan peraturan perundangundangan
dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah
Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-
Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara
Indonesia;
b. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang
ayah dan ibu Warga Negara Indonesia;
c. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang
ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing;
d. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang
ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia;
e. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu
Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai
kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak
memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut;
f. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari
setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang
sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia;
g. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang
ibu Warga Negara Indonesia;
h. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang
ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah
Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan
itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan
belas) tahun atau belum kawin;
i. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang
pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah
dan ibunya;
j. anak . . .
- 4 -
j. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara
Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak
diketahui;
k. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia
apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai
kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya;
l. anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik
Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara
Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak
tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada
anak yang bersangkutan;
m. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan
permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau
ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah
atau menyatakan janji setia.
Pasal 5
(1) Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar
perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas)
tahun dan belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya
yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai
Warga Negara Indonesia.
(2) Anak Warga Negara Indonesia yang belum berusia 5
(lima) tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga
negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap
diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
Pasal 6
(1) Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia
terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf c, huruf d, huruf h, huruf l, dan Pasal 5 berakibat
anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18
(delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut
harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya.
(2) Pernyataan . . .
- 5 -
(2) Pe rnyataan untuk memilih kewarganegaraan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara
tertulis dan disampaikan kepada Pejabat dengan
melampirkan dokumen sebagaimana ditentukan di dalam
peraturan perundang-undangan.
(3) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam
waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia
18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.
Pasal 7
Setiap orang yang bukan Warga Negara Indonesia
diperlakukan sebagai orang asing.
BAB III
SYARAT DAN TATA CARA MEMPEROLEH
KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
Pasal 8
Kewarganegaraan Republik Indonesia dapat juga diperoleh
melalui pewarganegaraan.
Pasal 9
Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon
jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin;
b. pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat
tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling
singkat 5 (lima ) tahun berturut-turut atau paling singkat
10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar
negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
e. tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu)
tahun atau lebih;
f. jika . . .
- 6 -
f. jika dengan memperoleh Kewarganegaraan Republik
Indonesia, tidak menjadi berkewarganegaraan ganda;
g. mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap;
dan
h. membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.
Pasal 10
(1) Permohonan pewarganegaraan diajukan di Indonesia oleh
pemohon secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas
kertas bermeterai cukup kepada Presiden melalui
Menteri.
(2) Berkas permohonan pewarganegaraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Pejabat.
Pasal 11
Menteri meneruskan permohonan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 disertai dengan pertimbangan kepada Presiden
dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak
tanggal permohonan diterima.
Pasal 12
(1) Permohonan pewarganegaraan dikenai biaya.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 13
(1) Presiden mengabulkan atau menolak permohonan
pewarganegaraan.
(2) Pengabulan permohonan pewarganegaraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan
Presiden.
(3) Keputusan . . .
- 7 -
(3) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak
permohonan diterima oleh Menteri dan diberitahukan
kepada pemohon paling lambat 14 (empat belas) hari
terhitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan.
(4) Penolakan permohonan pewarganegaraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disertai alasan dan
diberitahukan oleh Menteri kepada yang bersangkutan
paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal
permohonan diterima oleh Menteri.
Pasal 14
(1) Keputusan Presiden mengenai pengabulan terhadap
permohonan pewarganegaraan berlaku efektif terhitung
sejak tanggal pemohon mengucapkan sumpah atau
menyatakan janji setia.
(2) Paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak Keputusan
Presiden dikirim kepada pemohon, Pejabat memanggil
pemohon untuk mengucapkan sumpah atau menyatakan
janji setia.
(3) Dalam hal setelah dipanggil secara tertulis oleh Pejabat
untuk mengucapkan sumpah atau menyatakan janji
setia pada waktu yang telah ditentukan ternyata pemohon
tidak hadir tanpa alasan yang sah, Keputusan Presiden
tersebut batal demi hukum.
(4) Dalam hal pemohon tidak dapat mengucapkan sumpah
atau menyatakan janji setia pada waktu yang telah
ditentukan sebagai akibat kelalaian Pejabat, pemohon
dapat mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia
di hadapan Pejabat lain yang ditunjuk Menteri.
Pasal 15
(1) Pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1)
dilakukan di hadapan Pejabat.
(2) Pejabat . . .
- 8 -
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat
berita acara pelaksanaan pengucapan sumpah atau
pernyataan janji setia.
(3) Paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak
tanggal pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia,
Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyampaikan berita acara pengucapan sumpah atau
pernyataan janji setia kepada Menteri.
Pasal 16
Sumpah atau pernyataan janji setia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) adalah:
Yang mengucapkan sumpah, lafal sumpahnya sebagai berikut:
Demi Allah/demi Tuhan Yang Maha Esa, saya bersumpah
melepaskan seluruh kesetiaan saya kepada kekuasaan asing,
mengakui, tunduk, dan setia kepada Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan akan membelanya
dengan sungguh-sungguh serta akan menjalankan kewajiban
yang dibebankan negara kepada saya sebagai Warga Negara
Indonesia dengan tulus dan ikhlas.
Yang menyatakan janji setia, lafal janji setianya sebagai
berikut:
Saya berjanji melepaskan seluruh kesetiaan saya kepada
kekuasaan asing, mengakui, tunduk, dan setia kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan akan
membelanya dengan sungguh-sungguh serta akan
menjalankan kewajiban yang dibebankan negara kepada saya
sebagai Warga Negara Indonesia dengan tulus dan ikhlas.
Pasal 17
Setelah mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia,
pemohon wajib menyerahkan dokumen atau surat-surat
keimigrasian atas namanya kepada kantor imigrasi dalam
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung
sejak tanggal pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia.
Pasal 18 . . .
- 9 -
Pasal 18
(1) Salinan Keputusan Presiden tentang pewarganegaraan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan berita
acara pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia
dari Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(2) menjadi bukti sah Kewarganegaraan Republik
Indonesia seseorang yang memperoleh kewarganegaraan.
(2) Menteri mengumumkan nama orang yang telah
memperoleh kewarganegaraan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 19
(1) Warga negara asing yang kawin secara sah dengan Warga
Negara Indonesia dapat memperoleh Kewarganegaraan
Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan
menjadi warga negara di hadapan Pejabat.
(2) Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan apabila yang bersangkutan sudah bertempat
tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling
singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat
10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, kecuali dengan
perolehan kewarganegaraan tersebut mengakibatkan
berkewarganegaraan ganda.
(3) Dalam hal yang bersangkutan tidak memperoleh
Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diakibatkan
oleh kewarganegaraan ganda sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), yang bersangkutan dapat diberi izin tinggal
tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menyampaikan
pernyataan untuk menjadi Warga Negara Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 20
Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik
Indonesia . . .
- 10 -
Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara dapat diberi
Kewarganegaraan Republik Indonesia oleh Presiden setelah
memperoleh pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, kecuali dengan pemberian kewarganegaraan
tersebut mengakibatkan yang bersangkutan
berkewarganegaraan ganda.
Pasal 21
(1) Anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau
belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah
negara Republik Indonesia, dari ayah atau ibu yang
memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia
dengan sendirinya berkewarganegaraan Republik
Indonesia.
(2) Anak warga negara asing yang belum berusia 5 (lima)
tahun yang diangkat secara sah menurut penetapan
pengadilan sebagai anak oleh Warga Negara Indonesia
memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia.
(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) memperoleh kewarganegaraan ganda, anak
tersebut harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6.
Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengajukan dan
memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IV
KEHILANGAN KEWARGANEGARAAN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 23
Warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika
yang bersangkutan:
a. memperoleh . . .
- 11 -
a. memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya
sendiri;
b. tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan
lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat
kesempatan untuk itu;
c. dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas
permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia
18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, bertempat
tinggal di luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang
Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa
kewarganegaraan;
d. masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih
dahulu dari Presiden;
e. secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang
jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya
dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia;
f. secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan
janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara
asing tersebut;
g. tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan
sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara
asing;
h. mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari
negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda
kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas
namanya; atau
i. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik
Indonesia selama 5 (lima) tahun terus-menerus bukan
dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan
dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk
tetap menjadi Warga Negara Indonesia sebelum jangka
waktu 5 (lima) tahun itu berakhir, dan setiap 5 (lima) tahun
berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan
pernyataan ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia
kepada Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan
padahal Perwakilan Republik Indonesia tersebut telah
memberitahukan secara tertulis kepada yang
bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi
tanpa kewarganegaraan.
Pasal 24 . . .
- 12 -
Pasal 24
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf d
tidak berlaku bagi mereka yang mengikuti program
pendidikan di negara lain yang mengharuskan mengikuti
wajib militer.
Pasal 25
(1) Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi
seorang ayah tidak dengan sendirinya berlaku terhadap
anaknya yang mempunyai hubungan hukum dengan
ayahnya sampai dengan anak tersebut berusia 18
(delapan belas) tahun atau sudah kawin.
(2) Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi
seorang ibu tidak dengan sendirinya berlaku terhadap
anaknya yang tidak mempunyai hubungan hukum
dengan ayahnya sampai dengan anak tersebut berusia
18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.
(3) Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia karena
memperoleh kewarganegaraan lain bagi seorang ibu yang
putus perkawinannya, tidak dengan sendirinya berlaku
terhadap anaknya sampai dengan anak tersebut berusia
18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.
(4) Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia
terhadap anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) berakibat anak berkewarganegaraan
ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau
sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih
salah satu kewarganegaraannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6.
Pasal 26
(1) Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan
laki-laki warga negara asing kehilangan
Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut
hukum . . .
- 13 -
hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri
mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat
perkawinan tersebut.
(2) Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan
perempuan warga negara asing kehilangan
Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut
hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan suami
mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat
perkawinan tersebut.
(3) Perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau
laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jika ingin
tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan
surat pernyataan mengenai keinginannya kepada Pejabat
atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya
meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki
tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan
kewarganegaraan ganda.
(4) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat diajukan oleh perempuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) setelah 3 (tiga) tahun sejak tanggal
perkawinannya berlangsung.
Pasal 27
Kehilangan kewarganegaraan bagi suami atau istri yang
terikat perkawinan yang sah tidak menyebabkan hilangnya
status kewarganegaraan dari istri atau suami.
Pasal 28
Setiap orang yang memperoleh Kewarganegaraan Republik
Indonesia berdasarkan keterangan yang kemudian hari
dinyatakan palsu atau dipalsukan, tidak benar, atau terjadi
kekeliruan mengenai orangnya oleh instansi yang berwenang,
dinyatakan batal kewarganegaraannya.
Pasal 29 . . .
- 14 -
Pasal 29
Menteri mengumumkan nama orang yang kehilangan
Kewarganegaraan Republik Indonesia dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
kehilangan dan pembatalan kewarganegaraan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
BAB V
SYARAT DAN TATA CARA MEMPEROLEH KEMBALI
KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
Pasal 31
Seseorang yang kehilangan Kewarganegaraan Republik
Indonesia dapat memperoleh kembali kewarganegaraannya
melalui prosedur pewarganegaraan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 18 dan Pasal 22.
Pasal 32
(1) Warga Negara Indonesia yang kehilangan
Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 huruf i, dan Pasal 26 ayat (1)
dan ayat (2) dapat memperoleh kembali Kewarganegaraan
Republik Indonesia dengan mengajukan permohonan
tertulis kepada Menteri tanpa melalui prosedur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan
Pasal 17.
(2) Dalam hal pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik
Indonesia, permohonan disampaikan melalui Perwakilan
Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal pemohon.
(3) Permohonan . . .
- 15 -
(3) Permohonan untuk memperoleh kembali
Kewarganegaraan Republik Indonesia dapat diajukan oleh
perempuan atau laki-laki yang kehilangan
kewarganegaraannya akibat ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) sejak
putusnya perkawinan.
(4) Kepala Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) meneruskan permohonan
tersebut kepada Menteri dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari setelah menerima permohonan.
Pasal 33
Persetujuan atau penolakan permohonan memperoleh kembali
Kewarganegaraan Republik Indonesia diberikan paling lambat
3 (tiga) bulan oleh Menteri atau Pejabat terhitung sejak
tanggal diterimanya permohonan.
Pasal 34
Menteri mengumumkan nama orang yang memperoleh
kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
memperoleh kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 36
(1) Pejabat yang karena kelalaiannya melaksanakan tugas
dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang ini sehingga mengakibatkan seseorang
kehilangan . . .
- 16 -
kehilangan hak untuk memperoleh atau memperoleh
kembali dan/atau kehilangan Kewarganegaraan Republik
Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan karena kesengajaan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
Pasal 37
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan
keterangan palsu, termasuk keterangan di atas sumpah,
membuat surat atau dokumen palsu, memalsukan surat
atau dokumen dengan maksud untuk memakai atau
menyuruh memakai keterangan atau surat atau dokumen
yang dipalsukan untuk memperoleh Kewarganegaraan
Republik Indonesia atau memperoleh kembali
Kewarganegaraan Republik Indonesia dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan
keterangan palsu, termasuk keterangan di atas sumpah,
membuat surat atau dokumen palsu, memalsukan surat
atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling
sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Pasal 38
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 dilakukan korporasi, pengenaan pidana
dijatuhkan kepada korporasi dan/atau pengurus yang
bertindak untuk dan atas nama korporasi.
(2) Korporasi . . .
- 17 -
(2) Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana
dengan pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan dicabut izin
usahanya.
(3) Pengurus korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 39
(1) Permohonan pewarganegaraan, pernyataan untuk tetap
menjadi Warga Negara Indonesia, atau permohonan
memperoleh kembali Kewarganegaraan Republik
Indonesia yang telah diajukan kepada Menteri sebelum
Undang-Undang ini berlaku dan telah diproses tetapi
belum selesai, tetap diselesaikan berdasarkan Undang-
Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976 tentang Perubahan
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia.
(2) Apabila permohonan atau pernyataan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) telah diproses tetapi belum
selesai pada saat peraturan pelaksanaan Undang-Undang
ini ditetapkan, permohonan atau pernyataan tersebut
diselesaikan menurut ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 40
Permohonan pewarganegaraan, pernyataan untuk tetap
menjadi Warga Negara Indonesia, atau permohonan
memperoleh kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia
yang . . .
- 18 -
yang telah diajukan kepada Menteri sebelum Undang-Undang
ini berlaku dan belum diproses, diselesaikan berdasarkan
ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 41
Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf
c, huruf d, huruf h, huruf l dan anak yang diakui atau
diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan belum berusia
18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh
Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-
Undang ini dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui
Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4
(empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 42
Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di luar
wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun atau
lebih tidak melaporkan diri kepada Perwakilan Republik
Indonesia dan telah kehilangan Kewarganegaraan Republik
Indonesia sebelum Undang-Undang ini diundangkan dapat
memperoleh kembali kewarganegaraannya dengan
mendaftarkan diri di Perwakilan Republik Indonesia dalam
waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan sepanjang tidak mengakibatkan
kewarganegaraan ganda.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 diatur
dengan Peraturan Menteri yang harus ditetapkan paling
lambat 3 (tiga) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.
BAB VIII . . .
- 19 -
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 113, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1647) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976 tentang
Perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun
1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor
20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3077) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
b. Peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 62 Tahun
1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18
Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum
diganti berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang
ini.
Pasal 45
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah
ditetapkan paling lambat 6 (enam) bulan sejak Undang-
Undang ini diundangkan.
Pasal 46
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
- 20 -
ttd
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 2006
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 63
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Deputi Mensesneg Bidang Perundang-undangan,
Abdul Wahid
ttd

Pornografi-Undang-Undang No. 44 Tahun 2008

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 44 TAHUN 2008

TENTANG

PORNOGRAFI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara;

b. bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia;

c. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Pornografi;

Mengingat :

Pasal 20 Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI.

BAB I

KETENTUAN UMUM


Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.

3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

5. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Pasal 2

Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.

Pasal 3

Undang-Undang ini bertujuan:

a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;

b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk;

c. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;

d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan

e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.

BAB II

LARANGAN DAN PEMBATASAN


Pasal 4

(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:

a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;

b. kekerasan seksual;

c. masturbasi atau onani;

d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;

e. alat kelamin; atau

f. pornografi anak.

(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:

a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;

b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;

c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau

d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.

Pasal 5


Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 4 ayat (1).

Pasal 6

Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.

Pasal 7

Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Pasal 8

Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Pasal 9

Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Pasal 10

Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.

Pasal 11

Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau

Pasal 10.

Pasal 12

Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.

Pasal 13

(1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan.

(2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.

Pasal 14

Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB III

PERLINDUNGAN ANAK

Pasal 15

Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.


Pasal 16

(1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IV

PENCEGAHAN

Bagian Kesatu

Peran Pemerintah


Pasal 17

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 18

Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang:

a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;

b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan

c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 19

Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah Daerah berwenang:

a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya;

b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya;

c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan

d. mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di wilayahnya.


Bagian Kedua

Peran Serta Masyarakat

Pasal 20

Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.


Pasal 21

(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara:

a. melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;

b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;

c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi; dan

d. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 22

Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a berhak mendapat perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB V

PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN

DI SIDANG PENGADILAN

Pasal 23

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.


Pasal 24

Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada:

a. barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik, maupun bentuk penyimpanan data lainnya; dan

b. data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.


Pasal 25

(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya.

(2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik yang diminta penyidik.

(3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah menyerahkan dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik dari penyidik.

Pasal 26

Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi di tempat data tersebut didapatkan.

Pasal 27

(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dilampirkan dalam berkas perkara.

(2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dapat dimusnahkan atau dihapus.

(3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau dihapus.

BAB VI

PEMUSNAHAN

Pasal 28

(1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan.

(2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:

a. nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan pornografi;

b. nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;

c. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan

d. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan.

BAB VII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 29

Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 30

Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 31

Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 32

Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 33

Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 34

Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 35

Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 36

Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 37

Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.

Pasal 38

Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 39

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan.

Pasal 40

(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

(2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama.

(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.

(5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

(7) Dalam hal tindak pidana pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.

Pasal 41

Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa:

a. pembekuan izin usaha;

b. pencabutan izin usaha;

c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan

d. pencabutan status badan hukum.

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 42

Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Undang-Undang ini, dibentuk gugus tugas antardepartemen, kementerian, dan lembaga terkait yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 43

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan.

Pasal 44

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 45

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 26 November 2008

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 26 November 2008

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 181